Wacana penggabungan raksasa transportasi online, Grab dan Gojek, kembali mencuat ke permukaan, memicu kekhawatiran serius dari para ekonom terkait potensi monopoli pasar. Isu ini tidak hanya berpotensi mengerek tarif layanan taksi online dan ojol, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan persaingan usaha di sektor ekonomi digital Indonesia. Pemerintah sendiri mengakui adanya diskusi mengenai skema merger atau akuisisi ini, meskipun menepis kekhawatiran akan monopoli.
Menurut data dari Euromonitor International, jika penggabungan ini terealisasi, entitas baru yang terbentuk dari Grab dan GoTo Gojek Tokopedia akan menguasai pangsa pasar yang dominan. Angkanya diperkirakan mencapai hampir 90% di Singapura dan lebih dari 91% di Indonesia, sebuah dominasi yang sulit ditandingi oleh pemain lain.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, secara tegas menyoroti bahwa penguasaan pangsa pasar sebesar 91% membuka peluang yang sangat lebar bagi dominasi pasar. Menurutnya, kondisi ini berisiko besar mengganggu persaingan usaha yang sehat dan bahkan dapat mengarah pada terbentuknya monopoli. “Persaingan akan terganggu karena dominasi satu pihak. Bahkan, boleh saya bilang sudah menjadi pasar monopoli,” ujarnya kepada Katadata.co.id pada Senin (10/11).
Dampak paling merugikan dari menurunnya persaingan adalah pada konsumen dan mitra pengemudi. Tanpa adanya kompetisi yang berarti, kontrol atas harga dan kualitas layanan akan sepenuhnya berada di tangan platform, yang dalam jangka panjang bisa mematikan industri. “Ketika tidak ada persaingan, maka yang dapat dirugikan adalah konsumen, baik pengguna akhir maupun mitra. Dalam jangka panjang, hal ini juga akan mematikan industri,” tambah Nailul.
Nailul Huda juga menggarisbawahi kesulitan yang akan dihadapi perusahaan berbagi tumpangan atau ride-hailing lain seperti Maxim dan inDrive. Dengan ruang pertumbuhan yang terbatas, terutama di wilayah perkotaan, mereka akan semakin sulit bersaing melawan entitas raksasa gabungan tersebut.
Meskipun demikian, Nailul Huda sebelumnya sempat menyinggung potensi dampak positif jangka pendek dari penggabungan ini pada Mei lalu. Ia menyebutkan bahwa harga layanan bisa menjadi lebih murah dan potongan aplikator yang dibebankan kepada mitra pengemudi pun berpotensi turun. Namun, ia kembali menekankan, dalam jangka menengah dan panjang, konsumen maupun pengemudi taksi online dan ojol akan menghadapi keterbatasan pilihan layanan, dengan kontrol harga sepenuhnya di tangan platform. Ini, baginya, akan sangat merugikan.
Senada dengan kekhawatiran tersebut, Managing Director OCBC Ventura, Darryl Ratulangi, pada Februari lalu juga menyatakan bahwa penggabungan GoTo Gojek Tokopedia dan Grab akan mengurangi pilihan konsumen, khususnya terkait tarif taksi dan ojek online. “Saya melihat dari sisi konsumen, kalau lebih banyak opsi secara harga biasanya lebih kompetitif,” ujar Darryl dalam acara Investment Outlook 2025 di Jakarta, (5/2).
Darryl mencatat bahwa Grab memiliki dominasi kuat di pasar Asia Tenggara, sementara GoTo Gojek Tokopedia fokus di Indonesia. Jika keduanya bersatu, dominasi pasar perusahaan gabungan akan semakin tak tertandingi, yang ia yakini akan mendorong kenaikan valuasi dan prospek yang lebih baik bagi entitas bisnis tersebut.
Kabar mengenai Grab Gojek merger ini kembali mengemuka setelah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengungkapkan bahwa Kementerian lain, termasuk Danantara, diajak berdiskusi terkait draf Peraturan Presiden (Perpres) mengenai taksi online dan ojol. “Berbagai macam (kementerian yang diajak diskusi). Sebab, kemudian, ada juga Danantara yang ikut terlibat (dalam pembahasan Perpres),” kata Mensesneg di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11).
Saat ditanya wartawan apakah keterlibatan Danantara dalam pembahasan Perpres ini berkaitan dengan isu merger yang telah lama berhembus, Prasetyo Hadi membenarkan, “Ya salah satunya.” Ia juga mengonfirmasi niat Grab untuk membeli saham GoTo Gojek Tokopedia dengan menjawab, “Rencananya begitu.” Mensesneg menambahkan bahwa bentuk kesepakatannya bisa berupa merger atau akuisisi, dan saat ini skemanya sedang digodok.
Menanggapi kekhawatiran akan terjadinya monopoli, Prasetyo Hadi dengan tegas menyatakan, “Tidak.” Ia menegaskan bahwa tujuan pembahasan wacana merger Gojek dan Grab, serta Perpres ojol, adalah untuk memastikan keberlangsungan bisnis berbagi tumpangan tetap berjalan dengan baik. Meskipun tidak merinci secara spesifik hambatan bisnis yang mungkin dihadapi, Mensesneg menekankan pentingnya sektor ini.
Prasetyo Hadi lebih lanjut mengungkapkan apresiasinya terhadap sektor ini, “Sebab, bagaimana pun, perusahaan ini menyediakan layanan yang menciptakan lapangan kerja. Mitra pengemudi (taksi online dan ojol), jumlahnya cukup besar. Dan sekarang kami tersadar bahwa ojol merupakan pahlawan ekonomi.” Namun, saat jurnalis bertanya apakah pembahasan ini juga untuk mengantisipasi potensi pemutusan kemitraan besar-besaran, Mensesneg tidak memberikan jawaban.
Ringkasan
Wacana merger Grab dan Gojek kembali mencuat, memicu kekhawatiran ekonom tentang potensi monopoli dan kenaikan tarif. Jika merger terjadi, entitas baru akan menguasai pangsa pasar yang sangat dominan, mencapai lebih dari 90% di Singapura dan Indonesia. Nailul Huda dari Celios menekankan bahwa dominasi pasar sebesar ini berisiko mengganggu persaingan usaha yang sehat.
Dampak negatif dari kurangnya persaingan akan merugikan konsumen dan mitra pengemudi, dengan kontrol harga dan kualitas layanan sepenuhnya berada di tangan platform. Meskipun ada potensi dampak positif jangka pendek seperti harga layanan yang lebih murah, dalam jangka panjang konsumen dan pengemudi akan menghadapi keterbatasan pilihan. Pemerintah mengakui adanya diskusi merger atau akuisisi, tetapi menepis kekhawatiran akan monopoli.