Wacana pengambilalihan paksa 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) oleh negara, yang dilontarkan beberapa tokoh politik, telah mengguncang pasar modal Indonesia. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperingatkan potensi kerusakan kepastian hukum dan iklim investasi jika wacana ini terealisasi. “Kita harus move on dari krisis ekonomi 1998 dan fokus pada peningkatan daya saing ekonomi,” tegas Wijayanto kepada Katadata.co.id pada Kamis (21/8).
Gagasan ini diusulkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro, yang mengaitkannya dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di masa krisis 1998 dan pelepasan saham pemerintah di BCA pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Sasmito bahkan mengklaim kas negara dapat bertambah Rp 700 triliun jika pengambilalihan ini terjadi. Dukungan serupa datang dari Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB, Ahmad Iman Syukri, yang menyatakan partainya mendukung usulan tersebut.
Meskipun baik Danantara maupun BCA telah membantah wacana ini, risiko potensial dari isu pengambilalihan bank swasta terbesar di Indonesia ini tetap signifikan. Wijayanto menekankan, reputasi Indonesia di mata internasional terancam jika pemerintah dan DPR merespon wacana ini secara serius. Hal ini, menurutnya, akan membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mempersoalkan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) di masa lalu.
Intinya, perdebatan ini berpusat pada obligasi rekapitulasi senilai Rp 430 triliun yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah pada krisis 1998. Karena hasil penjualan aset oleh pemerintah lebih rendah dari nilai obligasi tersebut, sebagian pihak menganggapnya sebagai kerugian negara. Namun, Wijayanto menjelaskan pentingnya memahami konteks saat itu: aset yang dijual BPPN, termasuk BCA, berada dalam kondisi bermasalah, di tengah krisis ekonomi parah dan situasi politik yang tidak stabil pasca-jatuhnya Presiden Soeharto.
Ia menambahkan, tingkat recovery rate penjualan aset BPPN mencapai 22-23%, sebanding dengan Thailand dan Korea Selatan, bahkan lebih tinggi dari beberapa negara Eropa (Portugal, Italia, Yunani, Spanyol) saat krisis 2009 (sekitar 15%). Membandingkan hasil penjualan aset di masa krisis dengan nilai aset saat ini, 27 tahun kemudian, menurutnya, sangat tidak realistis.
Wijayanto juga menyoroti rencana penggunaan dana hasil akuisisi untuk Danantara. Menurutnya, sebagai institusi yang memahami keuangan, psikologi pasar, dan hukum, Danantara tidak akan mendukung wacana tersebut, sesuai pernyataan CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani. Wijayanto menegaskan keberhasilan program penyelamatan ekonomi 1998, yang dilakukan dengan payung hukum dan teknokrasi yang kuat, sebagai bukti Indonesia mampu bangkit dari krisis.
Tanggapan BCA
Manajemen BCA telah memberikan klarifikasi terkait wacana ini. Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, manajemen BCA membantah adanya masalah dalam peralihan saham dari pemerintah ke Grup Djarum, dan menolak klaim Sasmito Hadinegoro. Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menjelaskan bahwa angka Rp 117 triliun yang beredar merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasarnya.
Nilai pasar BCA saat strategic private placement, berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia, adalah sekitar Rp 10 triliun. Ketut menegaskan bahwa tender penjualan saham oleh BPPN dilakukan secara transparan dan akuntabel, sesuai ketentuan yang berlaku. Ia juga membantah narasi tentang utang BCA kepada negara senilai Rp 60 triliun, menyatakan bahwa obligasi rekapitulasi tersebut telah lunas pada tahun 2009.
Ringkasan
Wacana pengambilalihan paksa 51% saham Bank Central Asia (BBCA) oleh negara dinilai mengancam kepastian hukum dan iklim investasi Indonesia. Ekonom Wijayanto Samirin memperingatkan potensi kerusakan reputasi internasional dan pembukaan peluang mempersoalkan transaksi BPPN di masa lalu. Klaim potensi tambahan kas negara sebesar Rp 700 triliun dibantah, mengingat perbandingan nilai aset saat krisis 1998 dengan nilai saat ini tidak realistis.
BCA telah membantah wacana tersebut, menegaskan transparansi dan akuntabilitas penjualan sahamnya pada masa lalu. Penjualan aset BPPN, termasuk BCA, dilakukan dengan recovery rate sebanding dengan negara lain yang mengalami krisis serupa. Mempertimbangkan konteks krisis ekonomi 1998 dan kondisi aset yang bermasalah, argumen kerugian negara dinilai tidak berdasar.