
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjabarkan sejumlah langkah yang dapat ditempuh Indonesia untuk menagih utang iklim dari negara-negara mitra, terutama yang mendapatkan keuntungan dari investasi dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia selama satu dekade terakhir.
Menurut Bhima, ada berbagai instrumen kreatif yang dapat dipakai Indonesia, mulai dari debt relief (keringanan utang), moratorium utang, hingga renegosiasi berbagai pinjaman yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia mencontohkan beban baru pemerintah, seperti utang proyek kereta cepat, selama ini tidak dikaitkan dengan isu lingkungan. Padahal, proyek tersebut merupakan proyek pertama kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) Indonesia–Cina.
Bhima mengatakan proyek kereta cepat tidak bisa dilepaskan dari rangkaian proyek BRI lainnya, seperti hilirisasi nikel dan bauksit. Aktivitas dalam rantai industri tersebut telah menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan yang seharusnya dihitung sebagai bagian dari utang ekologis.
Baca juga:
- Pendanaan Iklim Harus Menyasar Langsung ke Masyarakat Adat
- Brasil Luncurkan Rencana untuk Naikkan Pendanaan Iklim Jadi US$1,3 Triliun
- Indonesia Tawarkan Alternatif Pendanaan Iklim di COP30 Brasil
“Coba dikalkulasikan kerusakan lingkungan karena deforestasi akibat pertambangan nikel dan smelter. China jangan lagi menagih utang kereta cepat. Justru harus bayar karena Indonesia memberi surplus,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (18/11).
Ia menambahkan, kerusakan ekosistem di Morowali, Maluku Utara, Konawe, dan Morosi mungkin tidak bisa dipulihkan sepenuhnya. Namun, pembayaran utang ekologis dapat mendanai pemulihan ekonomi masyarakat, termasuk sektor perikanan, rempah, dan usaha kecil yang terdampak ekspansi industri berat.
Terjebak di Washington Consensus
Bhima juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut Belanda memiliki utang terhadap Indonesia akibat eksploitasi selama masa kolonial. Menurut Bhima, utang ekologis Belanda jauh lebih besar dari angka yang pernah disampaikan Prabowo.
“Kalau dihitung, konsekuensinya lebih dari Rp 5.000 triliun. Bukan hanya kerugian ekonomi, tapi juga utang karbon. Jangan sampai sekarang yang terjadi justru terbalik: Belanda membeli kredit karbon dari Indonesia,” ujarnya.
Bhima menilai cara pandang pemerintah terhadap pendanaan iklim masih terkunci pada pola Washington Consensus: ketika butuh uang, negara menerbitkan utang atau menjual kredit karbon. Padahal, ada opsi pendanaan yang lebih adil dan tidak membebani negara berkembang.
“Selama kita masih terjebak pada Washington Consensus, kita tidak akan pernah keluar dari sistem pendanaan yang adil. Bank-bank BUMN dan swasta yang selama ini berkontribusi pada krisis iklim juga belum membayar dosa iklimnya,” kata Bhima.