Sponsored

Indeks Wall Street Rontok Usai Trump Ancam Tambah Tarif untuk Cina

Wall Street mengalami hari kelam pada Jumat (10/10), dengan indeks-indeks utama anjlok signifikan setelah Presiden AS Donald Trump secara mengejutkan mengancam akan memberlakukan tarif tambahan terhadap Cina. Ketegangan kembali memuncak menyusul tudingan Trump bahwa Beijing bersikap ‘bermusuhan’ karena menerapkan pembatasan ketat pada ekspor logam tanah jarang, memicu kekhawatiran baru tentang potensi perang dagang.

Sponsored

Tekanan jual yang masif mendominasi sesi terakhir perdagangan, menyeret ketiga indeks utama ke zona merah yang dalam. Dow Jones Industrial Average terpangkas 878,82 poin atau 1,9%, berakhir di 45.479,60. Sementara itu, S&P 500 melemah 2,71% ke level 6.552,51, dan Nasdaq Composite mengalami koreksi paling parah, anjlok 3,56% menjadi 22.204,43. Penurunan luas ini tercatat sebagai yang terdalam sejak 10 April, sebuah kontras tajam mengingat Nasdaq sempat mencetak rekor tertinggi intraday baru sebelum pernyataan kontroversial Trump membalikkan sentimen pasar.

Melalui platform Truth Social, Trump mengungkapkan bahwa seharusnya ia bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping dalam dua minggu ke depan di pertemuan APEC di Korea Selatan. Namun, secara blak-blakan ia menyatakan pertemuan tersebut kini tidak lagi diperlukan. Ancaman yang dilontarkan Trump tidak main-main; ia menyebutkan bahwa pemerintahannya tengah mempertimbangkan “kenaikan besar-besaran” tarif terhadap produk-produk impor dari Cina. Tuduhan serius juga dilayangkan kepada Beijing, yang menurut Trump, “menjerat dunia” dengan dominasinya atas pasokan global logam tanah jarang.

Eskalasi ini terjadi setelah Cina memperketat pengawasan ketat terhadap ekspor logam tanah jarang. Beijing kini mewajibkan setiap perusahaan asing untuk memperoleh lisensi khusus dari pemerintah jika ingin mengekspor produk yang mengandung material strategis tersebut, bahkan jika kandungannya hanya 0,1% dari total nilai produk. Langkah ini jelas memicu kekhawatiran global akan potensi disrupsi rantai pasok.

Menanggapi perkembangan ini, Jeff Kilburg, pendiri KKM Financial, pesimistis. Ia menilai bahwa harapan untuk mencapai kesepakatan dagang yang stabil dengan Cina kini “telah pupus.” Kilburg juga menambahkan, seperti dikutip CNBC pada Senin (13/10), bahwa “para pemburu keuntungan kini beraksi secara penuh,” menunjukkan sentimen pasar AS yang didominasi oleh aksi jual untuk mengamankan profit.

Ketegangan yang membara tercermin jelas pada Indeks Volatilitas CBOE (VIX), barometer utama kekhawatiran investor di Wall Street, yang melonjak tajam melampaui level 22. Kenaikan drastis ini mengakhiri periode tenang empat bulan di mana S&P 500 sempat terus merangkak mendekati rekor tertingginya. Lonjakan VIX menunjukkan peningkatan signifikan permintaan akan perlindungan di pasar terhadap potensi koreksi yang lebih dalam dan berkepanjangan.

Sektor teknologi menjadi korban utama dari memburuknya hubungan perdagangan antara AS dan Cina. Saham-saham raksasa teknologi mengalami tekanan berat: Nvidia merosot sekitar 5%, AMD anjlok hampir 8%, dan Tesla ikut melemah sekitar 5%. Ketergantungan kuat sektor ini pada pasar dan rantai pasok Cina menjadi pedang bermata dua di tengah konflik perdagangan.

Dampak negatif tidak hanya terbatas pada ekuitas; harga minyak mentah AS juga ikut tertekan. Kekhawatiran investor bahwa potensi kenaikan tarif dapat menghambat pertumbuhan ekonomi global dan pada akhirnya menekan permintaan energi menjadi pemicu utama koreksi di pasar komoditas ini.

Art Hogan, Kepala Strategi Pasar B. Riley Wealth, menegaskan bahwa anjloknya saham teknologi bukanlah kejutan. Ia menyoroti besarnya ketergantungan sektor tersebut pada Cina, baik dari segi rantai manufaktur yang kompleks maupun basis pelanggan yang luas. “Hubungan ekonomi kita dengan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia jelas semakin kompleks,” pungkasnya, menggarisbawahi tantangan geopolitik yang semakin pelik.

Lebih jauh memperkeruh suasana pasar AS, ketegangan dengan Cina ini terjadi di tengah gejolak domestik: penutupan pemerintahan AS (government shutdown) yang telah memasuki hari ke-10 pada Jumat. Krisis politik internal ini tanpa ragu semakin memperburuk sentimen investor yang sudah rapuh. Upaya Senat untuk mengesahkan rancangan pendanaan sementara kembali menemui jalan buntu untuk ketujuh kalinya pada Kamis. Ini memperpanjang kebuntuan antara Partai Republik dan Demokrat, tanpa ada tanda-tanda kemajuan menuju penyelesaian krisis anggaran.

Konsekuensi pahit dari kebuntuan ini mulai terasa. Menurut Russell Vought, Kepala Anggaran Administrasi Trump, dalam unggahan di media sosialnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawai federal telah mulai dilakukan, menambah daftar kekhawatiran ekonomi.

Penurunan tajam yang terjadi di akhir pekan itu secara brutal menghapus seluruh kenaikan S&P 500 sepanjang pekan, dengan indeks acuan tersebut akhirnya merosot 2,4% secara mingguan. Begitu pula dengan Nasdaq dan Dow Jones, yang masing-masing mencatat penurunan mingguan sebesar 2,5% dan 2,7%, mengakhiri pekan yang penuh gejolak di zona merah.

Ringkasan

Wall Street mengalami penurunan tajam setelah Presiden Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan terhadap Cina, menyusul tudingan tentang pembatasan ekspor logam tanah jarang. Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite mengalami penurunan terdalam sejak 10 April, dengan sektor teknologi menjadi yang paling terpukul.

Ancaman tarif ini memperburuk sentimen pasar yang sudah tertekan oleh ketegangan perdagangan dan penutupan pemerintahan AS. Indeks Volatilitas CBOE (VIX) melonjak, mencerminkan kekhawatiran investor, dan harga minyak mentah AS juga ikut tertekan karena kekhawatiran akan dampak tarif terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Sponsored