Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga, Taufik Hidayat, menyoroti secara serius persoalan minimnya jumlah dokter spesialis olahraga di Indonesia. Menurutnya, fondasi pembangunan olahraga tidak akan kokoh tanpa dukungan tenaga medis yang mumpuni, terutama dalam menjaga performa atlet dan melakukan pencegahan cedera secara optimal.
Taufik menjelaskan bahwa sebagai negara besar, Indonesia membutuhkan ekosistem olahraga yang kuat dan berkelanjutan. Namun, realitas menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga medis, khususnya dokter spesialis kedokteran olahraga, masih jauh dari ideal. “Baru ada berapa orang tadi? 122. Sebesar Indonesia 122,” ungkapnya kepada wartawan di Indonesia Sport Summit, Jakarta Pusat, Minggu (7/12).
Mengacu pada data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 24 April 2024, jumlah Spesialis Kedokteran Olahraga (Sp.KO) tercatat hanya 102 orang. Taufik menilai angka ini sangat tidak sebanding dengan kebutuhan nasional yang mendesak, terutama di berbagai daerah yang kerap menjadi sentra kemunculan banyak kasus cedera pada atlet.
Baca juga:
- Asing Net Buy Rp 2,48 T Sepekan: Borong Saham BBRI, BUMI dan CDIA, DSSA Pemberat
- PMI Kirim 1 Ton Abon untuk Pengungsi Korban Banjir dan Longsor di Sumatra
- Jadwal Libur Sekolah Desember 2025: Ini Kalender Tanggal Merah dan Cuti Bersama
Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor hingga ke tingkat pemerintah daerah dianggap sangat krusial untuk memastikan penguatan tenaga kesehatan olahraga dapat terdistribusi lebih merata. Taufik menekankan pentingnya pendekatan preventif, “Kita juga ingin menjaga, sebelum terjadinya cedera, kita akan rehab dulu. Maksudnya menjaga jangan sampai kejadian itu,” tegasnya. Ia juga mendesak dukungan dari Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas pendidikan kedokteran, khususnya pada spesialisasi kedokteran olahraga.
Selain keterbatasan tenaga medis, Taufik juga menyoroti belum memadainya fasilitas sport science di Indonesia. Padahal, arahan Presiden RI jelas mengamanatkan pembangunan fasilitas olahraga yang besar dan berkualitas demi menunjang peningkatan prestasi atlet. “Sekarang kita belum punya yang namanya Sport Science. Kita belum punyanya,” ujarnya. Ia menjelaskan perlunya koordinasi berkelanjutan antara Kemenpora dan Kemenkes agar penguatan fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM) olahraga dapat berjalan terpadu dan efektif.
Pernyataan Taufik Hidayat ini selaras dengan pandangan Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir, yang juga menekankan urgensi membangun fondasi industri olahraga nasional yang kuat. Menurut Erick, kebijakan yang ramah industri menjadi kunci utama dalam mewujudkan tujuan tersebut.
Erick menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan lebih luas dalam industri olahraga dunia, yang saat ini diperkirakan bernilai US$521 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun. Meskipun sekitar 40% dari nilai tersebut masih didominasi Amerika Serikat, peluang bagi Indonesia tetap terbuka lebar. “Kalau pembuat kebijakannya tidak ramah dengan industri, market, publik, kebijakannya kontradiktif, ini tidak bisa,” ujar Erick saat menyampaikan keynote speech di Indonesia Sport Summit 2025 di Indonesia Arena, pada hari sebelumnya, Sabtu (6/12).
Pemerintah, lanjut Erick, tidak bisa hanya mengandalkan anggaran kementerian untuk mendorong pertumbuhan industri olahraga. Dukungan dan investasi dari pihak swasta mutlak diperlukan agar industri ini dapat berkembang pesat dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh ekosistem olahraga nasional. Sebuah industri yang sehat, katanya, akan memicu lahirnya lebih banyak kompetisi, acara, dan peluang berharga bagi atlet untuk meraih prestasi gemilang di kancah nasional maupun internasional. “Itu bagian membangun atlet kita punya prestasi,” pungkasnya.