Ratusan Ribu Ton Beras Bulog Rusak: Ancaman Kerugian Triliunan Rupiah?
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Andreas Dwi Santoso, mengungkapkan kekhawatirannya terkait kondisi beras Bulog. Berdasarkan perhitungannya, lebih dari 100.000 ton beras mengalami penurunan kualitas atau disposal pada tahun ini. Beras yang semula layak konsumsi kini hanya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, menimbulkan potensi kerugian negara yang signifikan. “Pemerintah harus waspada, karena kerugian akibat 100.000 ton beras rusak saja bisa mencapai Rp 1,2 triliun,” tegas Andreas saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/8).
Andreas menjelaskan, penurunan kualitas beras tersebut disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, penyimpanan beras di gudang yang terlalu lama, lebih dari setahun. Kedua, pencampuran berbagai kualitas gabah dalam proses pengolahan. Ia menekankan bahwa angka 100.000 ton tersebut merupakan perhitungan dari sisa impor beras tahun lalu. Beras-beras ini telah disimpan selama lebih dari satu tahun, mengingat impor beras tahun 2024 masuk ke Indonesia pada bulan Februari. “Belum lagi jika beras tersebut terlebih dahulu disimpan di negara lain sebelum diekspor, umurnya bisa hampir dua tahun. Pada usia tersebut, beras sudah sangat tidak layak konsumsi,” imbuhnya. Meskipun terlihat baik secara fisik, beras tersebut telah kehilangan kualitas rasa dan tidak lagi aman untuk dikonsumsi. Selain dari sisa impor, Andreas juga menyoroti beras disposal yang berasal dari hasil pengolahan gabah dengan kualitas beragam. “Jadi, ada dua sumber utama beras disposal: sisa impor yang berusia lebih dari setahun dan beras hasil pengolahan gabah dengan kualitas campuran,” jelasnya.
Indonesia Sukses Tanpa Impor Beras di Tengah Krisis Pangan Global
Berbeda dengan kondisi tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyampaikan rasa syukur atas keberhasilan Indonesia dalam menahan laju impor beras tahun ini. Prestasi ini sangat signifikan, mengingat banyak negara maju menghadapi lonjakan harga beras akibat krisis pangan global. Mentan mencontohkan lonjakan harga beras di Jepang yang mencapai 90,7% pada Juli 2025, menyebabkan antrean panjang warga untuk membeli beras bersubsidi. Berbeda dengan Jepang, Indonesia berhasil menjaga ketahanan pangan berkat kekuatan produksi beras dalam negeri.
“Alhamdulillah, stok beras dalam negeri sangat cukup sehingga kita tidak perlu impor beras tahun ini. Hingga Agustus ini, stok beras aman dan produksi terus meningkat,” ungkap Mentan seperti dikutip dari Antara, Selasa (26/8). Data dari The Food and Agriculture Organization (FAO), United States Department of Agriculture (USDA), dan Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan peningkatan produksi beras nasional dari 30,62 juta ton pada 2024 menjadi 33,8–35,6 juta ton pada 2025. Lebih lanjut, stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog mencapai rekor tertinggi dalam 57 tahun terakhir, yaitu 4,2 juta ton, jauh melampaui stok tahun lalu yang hanya sekitar 1 juta ton. “Dulu kita defisit stok dan terpaksa impor 7 juta ton pada 2023 dan 3–4 juta ton pada 2024. Kini, stok kita tertinggi dalam sejarah, dan dunia mengakui ketahanan pangan Indonesia. FAO dan Departemen Pertanian Amerika memuji capaian ini,” ujar Amran. Mentan optimistis panen kedua pada September 2025 akan semakin memperkuat pasokan beras nasional, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan kekurangan beras.
Ringkasan
Lebih dari 100.000 ton beras Bulog rusak dan tidak layak konsumsi, menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 1,2 triliun. Kerusakan disebabkan penyimpanan terlalu lama (lebih dari setahun) dan pencampuran kualitas gabah. Beras tersebut hanya bisa digunakan sebagai pakan ternak.
Meskipun demikian, Indonesia berhasil menghindari impor beras tahun ini berkat peningkatan produksi dalam negeri yang mencapai 33,8-35,6 juta ton pada 2025, naik dari 30,62 juta ton pada 2024. Stok beras pemerintah juga mencapai rekor tertinggi 4,2 juta ton, jauh melampaui tahun lalu.