
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa investasi pada proyek waste-to-energy (WTE) atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) memiliki prospek ekonomi yang sangat menjanjikan bagi para investor. Dengan skema bisnis yang telah dirancang secara cermat oleh pemerintah, proyek WTE ini diprediksi dapat mencapai titik impas atau break even hanya dalam kurun waktu tujuh hingga delapan tahun.
Eddy menjelaskan, sebenarnya minat investor terhadap proyek WTE sangat tinggi. Namun, selama ini proses birokrasi yang berbelit, terutama di tingkat pemerintah daerah (Pemda), kerap menjadi penghalang utama yang memperlambat implementasi proyek tersebut.
Sebagai solusi atas kendala tersebut, pemerintah pusat telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025. Beleid ini secara signifikan menarik seluruh proses perizinan dan pengambilan keputusan ke ranah pusat, guna mempercepat pembangunan proyek WTE di berbagai wilayah.
Lebih lanjut, Eddy mengungkapkan bahwa para peserta dan peminat lelang proyek waste to energy bahkan siap untuk menjadi salah satu pemegang saham. Jika diberi kebebasan penuh, mereka akan memilih untuk menjadi pemegang saham tunggal, mencerminkan keyakinan kuat mereka terhadap potensi keuntungan yang besar.
“Mereka melihat peluang ekonomi yang bisa didapatkan dari pengelolaan WTE ini sangat besar. Kontrak 30 tahun, rata-rata dihitung antara tujuh sampai delapan tahun itu sudah break even,” ujar Eddy dalam Waste to Energy Investment Forum di Jakarta, Rabu (19/11).
Kontrak jangka panjang, tambahnya, memungkinkan investor menikmati keuntungan selama lebih dari dua dekade setelah modal awal mereka kembali. Ini merupakan insentif ekonomi yang sangat kuat untuk menarik lebih banyak pendanaan ke sektor pengelolaan sampah yang vital ini.
Menurut Eddy, percepatan pengembangan WTE tak hanya sebatas keuntungan finansial, tetapi juga krusial untuk mengatasi persoalan penumpukan sampah di berbagai kota besar. Tanpa teknologi inovatif yang mampu mengolah sampah sekaligus menghasilkan energi, masalah volume sampah yang terus meningkat akan semakin sulit ditangani secara efektif.
“Waste to energy ini kalau memang sudah berjalan, kita berharap akan bisa melakukan penurunan CO2 sampai 100 juta ton CO2 equivalent. Nah, ini potensi yang besar juga dari aspek aset karbon yang kita miliki untuk kemudian diperdagangkan,” tutur Eddy, menyoroti manfaat lingkungan dan ekonomi dari sudut pandang perdagangan karbon.
Anggaran Pemda untuk Pengelolaan Sampah Masih Minim
Salah satu hambatan terbesar dalam pengelolaan sampah selama ini adalah minimnya alokasi anggaran dari pemerintah daerah. Eddy menjelaskan, berdasarkan undang-undang, Pemda seharusnya mengalokasikan 3 hingga 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka untuk sektor pengelolaan sampah.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar daerah hanya menyediakan sekitar 0,5 hingga 0,7% dari APBD untuk keperluan ini. “Makanya banyak sampah yang tidak terkelola. Surabaya bisa dikelola sampahnya karena pemdanya menyediakan 5,5% dari APBD-nya,” kata Eddy, memberikan contoh sukses yang kontras.
Untuk meringankan beban finansial Pemda, pemerintah pusat juga telah menghapus kewajiban tipping fee yang selama ini menjadi tanggungan anggaran daerah. Sebagai gantinya, pemerintah menaikkan keekonomian proyek WTE melalui peningkatan tarif pembelian listrik menjadi 20 sen per kilowatt hour, sehingga menjadikan proyek ini semakin menarik dan berkelanjutan secara finansial bagi para pengembang.
“Nah ini yang membuat kemudian keekonomiannya menjadi baik, menarik bagi investasi,” pungkas Eddy, menegaskan komitmen pemerintah untuk mewujudkan solusi pengelolaan sampah yang efisien dan menguntungkan.
Ringkasan
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menyatakan bahwa investasi pada proyek waste-to-energy (WTE) memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan dan diperkirakan mencapai titik impas dalam 7-8 tahun. Pemerintah pusat telah menerbitkan Perpres Nomor 109 Tahun 2025 untuk mempercepat pembangunan proyek WTE dengan menarik proses perizinan ke ranah pusat, mengatasi kendala birokrasi di tingkat pemerintah daerah.
Minimnya anggaran pengelolaan sampah dari Pemda menjadi hambatan, di mana alokasi APBD seringkali di bawah standar yang diamanatkan undang-undang. Pemerintah pusat menghapus kewajiban tipping fee dan menaikkan tarif pembelian listrik untuk meningkatkan keekonomian proyek WTE, sehingga menarik investasi dan mewujudkan solusi pengelolaan sampah yang efisien serta menguntungkan.