Sponsored

Gletser mencair dengan cepat, 15 juta penduduk dunia terancam

Dalam rentang waktu singkat antara Mei hingga September tahun ini, serangkaian bencana hidrometeorologi dahsyat—mulai dari salju longsor, tanah longsor, hingga banjir bandang—melanda sejumlah komunitas pegunungan di Swiss, Nepal, dan Pakistan. Akibatnya, infrastruktur vital hancur lebur, meninggalkan jejak kematian tragis dan memicu pengungsian massal yang memilukan.

Sponsored

Ketiga musibah tersebut, meski berbeda lokasi, berakar pada pemicu yang sama: percepatan pencairan lapisan es permanen atau permafrost, serta fenomena banjir luapan danau glasial (GLOF). Ini terjadi ketika volume air lelehan dari gletser meningkat drastis, menyebabkan danau-danau glasial meluap dengan daya rusak yang luar biasa.

Laporan terbaru dari Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP) yang dirilis akhir November menggarisbawahi fakta bahwa frekuensi luapan danau glasial ini kian meningkat, didorong oleh akselerasi krisis iklim global. Kondisi ini diperkirakan berpotensi mengancam kehidupan sekitar 15 juta orang di seluruh dunia. Lebih jauh, fenomena ini adalah sinyal bahaya yang nyata tentang betapa parahnya kondisi gletser, yang merupakan indikator perubahan iklim paling sensitif di planet kita, sedang mengalami penderitaan.

Senada dengan temuan tersebut, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melalui laporan terbarunya tentang gletser, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, seluruh wilayah gletser di seluruh dunia telah melaporkan kehilangan massa gletser. Fenomena ini, yang disebabkan oleh kenaikan suhu dan pergeseran pola hujan serta salju, telah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, menandakan tren yang mengkhawatirkan.

Baca juga:

  • Puncak Cartenz Mencair, Indonesia Dorong Aksi Global Pelestarian Gletser
  • Ilmuwan Swiss: Gletser Terbesar di Alpen Masih Bisa Diselamatkan
  • UNESCO: Kenaikan Suhu Global Sebabkan Laju Pencairan Gletser Tercepat

Laju Perubahan Gletser yang Cepat

Sesungguhnya, gletser adalah salah satu ekosistem paling vital sekaligus rentan di planet ini. Mereka berfungsi sebagai ‘menara air’ alami, menyimpan sekitar 70% air tawar dunia dalam bentuk es selama bulan-bulan dingin. Air ini kemudian dilepaskan secara bertahap di musim hangat, menjadi sumber kehidupan esensial yang menopang sungai, mendukung pertanian, menggerakkan pembangkit listrik tenaga air, serta menopang berbagai bentuk kehidupan, dari tumbuhan hingga hewan.

Namun, realitas pahitnya adalah penyusutan gletser yang tak terkendali kini mengubah drastis bentang alam dan secara langsung membahayakan lebih dari 2 miliar orang yang mata pencarian serta kelangsungan hidupnya bergantung sepenuhnya pada pasokan air lelehan musiman ini.

Meskipun pencairan gletser merupakan bagian alami dari siklus hidrologi yang stabil, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah mendorong proses ini melampaui batas wajar. Kondisi ini menciptakan lingkaran umpan balik yang ganas, di mana pemanasan global mempercepat pencairan, yang pada gilirannya memperburuk pemanasan.

Lebih lanjut, berbagai perubahan lingkungan, termasuk badai yang kian sering dan polusi udara, turut memperparah keadaan. Endapan karbon hitam, debu, dan pasir di permukaan gletser menjadikannya lebih gelap, secara drastis mengurangi kemampuannya untuk memantulkan sinar matahari. Akibatnya, proses pencairan es semakin cepat, bahkan menyebabkan lapisan es abadi (permafrost) ikut mencair dan melepaskan lebih banyak gas rumah kaca, yang pada akhirnya semakin memicu pemanasan global.

Dalam jangka pendek, konsekuensi langsung dari fenomena ini adalah terancamnya stabilitas ekosistem krusial seperti danau gletser, dengan masyarakat di hilir yang menjadi pihak paling rentan menanggung dampak-dampak mengerikan tersebut.

Sementara itu, dalam jangka panjang, penipisan masif cadangan es ini akan secara fundamental memengaruhi ketahanan air global dan berkontribusi signifikan terhadap kenaikan permukaan laut, mengancam kota-kota pesisir dan ekosistem pulau kecil.

Dari perspektif keanekaragaman hayati, pencairan gletser secara langsung mengancam habitat dan tempat pemijahan spesies air tawar. Lebih jauh, gangguan terhadap komunitas mikroba kompleks yang hidup di wilayah kriosfer ini diperkirakan akan membawa implikasi yang baru mulai dipahami dan diteliti oleh para ilmuwan.

Keputusan dan pilihan yang kita buat pada dekade ini akan menjadi penentu krusial bagi ketersediaan es dan masa depan generasi mendatang. Skenario menunjukkan bahwa dengan target pemanasan global rata-rata 1,5°C, kita masih bisa menyelamatkan lebih dari 54% massa gletser dunia dibandingkan tahun 2020. Namun, jika suhu Bumi naik 2,7°C di atas era praindustri, jumlah massa gletser dunia yang tersisa diperkirakan hanya akan mencapai 24%, sebuah prospek yang mengkhawatirkan.

Ironisnya, Laporan Kesenjangan Emisi 2025 dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengindikasikan bahwa kebijakan iklim global saat ini justru menempatkan kita pada jalur pemanasan rata-rata 2,8°C, jauh di atas ambang batas aman yang direkomendasikan.

Gletser Tropis Indonesia Akan Menghilang pada 2100

Krisis ini bukan sekadar ancaman masa depan. Beberapa negara seperti Slovenia dan Venezuela bahkan telah sepenuhnya kehilangan semua gletser mereka. Para peneliti secara berkelanjutan mengidentifikasi wilayah-wilayah lain yang diperkirakan akan mengalami nasib serupa dalam waktu dekat. Sebagai contoh, gletser tropis dan dataran rendah—termasuk di Peru, Indonesia, dan Uganda—diproyeksikan akan menghilang sepenuhnya pada tahun 2100.

Di kawasan Pegunungan Hindu Kush Himalaya, yang gletsernya menjadi sumber vital air bagi cekungan-cekungan sungai utama dan menopang kehidupan sekitar 2 miliar orang, diprediksi hanya seperempat es yang akan tersisa jika terjadi kenaikan suhu 2 derajat Celsius. Tak kalah mengkhawatirkan, Gletser Kaukasus juga menunjukkan penyusutan cepat, yang telah mengakibatkan hilangnya lebih dari 11 miliar ton air tawar.

Afrika Timur Alami Krisis Gletser Terparah

Kawasan Afrika Timur menjadi sorotan utama karena mengalami krisis gletser paling parah di dunia. Di sini, Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Gunung Kenya, serta Pegunungan Rwenzori yang membentang di perbatasan Republik Demokratik Kongo dan Uganda, menyimpan tiga situs gletser terakhir yang tersisa di benua Afrika. Yang lebih mengerikan, gletser-gletser ini menghilang lebih cepat daripada lokasi lain di muka Bumi. Proyeksi menunjukkan bahwa gletser Kilimanjaro dapat sepenuhnya hilang pada 2040, sementara gletser Gunung Kenya diperkirakan akan lenyap bahkan lebih cepat lagi, mungkin hanya dalam empat tahun ke depan.

Data penginderaan jauh terbaru untuk tahun 2022 mengukuhkan keparahan situasi ini, menunjukkan bahwa total luas gletser yang tersisa di Afrika Timur hanya 1,36 kilometer persegi. Angka ini menandai penurunan yang sangat drastis, lebih dari 300% dibandingkan tahun 2000.

Dampak nyata krisis ini terlihat jelas pada Sungai Ngare Ndare, yang sumber airnya berasal dari gletser dan lapisan salju Gunung Kenya. Sungai ini telah mengalami penurunan muka air sebesar 30% dalam dekade terakhir. Akibatnya, lebih dari 2 juta orang di Kenya dan Tanzania yang hidupnya sangat bergantung pada pasokan air ini kini merasakan perubahan yang sangat parah: debit sungai yang berkurang menyebabkan hasil panen dan produksi susu yang lebih rendah, sekaligus memicu peningkatan erosi tanah, penyebaran penyakit, dan frekuensi tanah longsor.

Tim Peneliti Mengukur Es di Gletser yang ada di Puncak Cartenz, Pegunungan Jayawijaya ( ANTARA/HO-BMKG)

Menyadari urgensi krisis ini, UNEP secara proaktif bekerja sama dengan pemerintah, badan regional, LSM lokal dan nasional, serta masyarakat setempat untuk membangun dan memperkuat ketahanan dalam menghadapi kondisi lingkungan yang terus berubah. Melalui inisiatif seperti Program Adaptasi di Ketinggian dan pengumpulan solusi ADAPT Pegunungan, UNEP dan mitra-mitranya berupaya keras membantu masyarakat pegunungan Afrika Timur membangun ketahanan. Upaya ini meliputi diversifikasi mata pencarian, pemulihan lanskap, penguatan hutan, serta penerapan solusi berbasis alam untuk meningkatkan produksi pangan dan pengelolaan air yang lebih berkelanjutan.

Sejak tahun 2023, UNEP juga telah mempelopori pembentukan dan uji coba program Hibah Kecil ADAPT Pegunungan, yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Austria. Program ambisius ini, yang direncanakan akan diluncurkan sepenuhnya pada tahun 2026, bertujuan untuk memberdayakan organisasi berbasis komunitas dengan menyediakan hibah. Hibah ini akan digunakan untuk melaksanakan berbagai proyek adaptasi dan ketahanan yang dirancang dan dipimpin secara lokal, memastikan solusi yang relevan dengan kebutuhan komunitas.

Sebagai contoh konkret, pada tahun 2025, Yayasan Yiaku Laikipiak yang berlokasi di dekat Gunung Kenya telah berhasil memanfaatkan hibah ini untuk secara signifikan meningkatkan kedaulatan pangan di wilayahnya. Dana tersebut dialokasikan untuk membantu lebih dari 400 masyarakat adat Yiaku dalam membangun ketahanan terhadap guncangan lingkungan dan pasar, melalui implementasi tanaman yang cerdas iklim dan pengembangan sistem pengairan yang lebih baik.

Resolusi Baru Disiapkan untuk Aksi Global

Dengan kesadaran penuh bahwa hilangnya gletser adalah masalah global yang mendesak dan membutuhkan tindakan terkoordinasi, Negara-negara Anggota PBB kini tengah serius mempertimbangkan usulan resolusi baru. Resolusi ini secara khusus akan berfokus pada pelestarian gletser dan kriosfer yang lebih luas. Usulan penting ini dijadwalkan untuk dibahas pada Sidang Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-7 (UNEA-7), yang akan diselenggarakan oleh UNEP di kantor pusatnya di Nairobi, pada tanggal 8-12 Desember.

Rancangan resolusi ini merupakan kelanjutan dari keputusan Sidang Majelis Umum PBB yang mendeklarasikan tahun 2025 sebagai Tahun Internasional Pelestarian Gletser dan menetapkan 21 Maret sebagai Hari Gletser Sedunia, sebuah langkah yang menyoroti pentingnya isu ini di mata dunia.

Menjelang gelaran UNEA-7, Lewis Pugh, seorang Pelindung Kelautan UNEP yang juga dikenal sebagai pengacara maritim dan perenang ketahanan, akan melakukan ekspedisi pendakian Gunung Kenya. Aksi ini bertujuan untuk secara langsung menyoroti penyusutan gletser yang cepat di sana, yang kini luasnya hanya tersisa 0,069 km². Secara dramatis, Gletser Lewis—yang dulunya merupakan gletser terbesar di gunung itu—telah kehilangan 62% permukaannya hanya dalam lima tahun terakhir. Untuk lebih meningkatkan kesadaran, Pugh bahkan akan melakukan aksi berenang di danau glasial Tarn Lewis yang terletak di ketinggian, sebagai simbol dari penurunannya yang drastis.

Gletser adalah sistem peringatan dini, dan kini alarm itu berbunyi nyaring,” tegas Julian Blanc, Direktur Cabang Keanekaragaman Hayati dan Lahan UNEP, dalam keterangan resminya. “Ketika kita kehilangan gletser, kita tidak hanya kehilangan es semata—kita juga kehilangan air, ketahanan pangan, warisan, budaya, dan potensi peluang masa depan yang stabil. Setiap fraksi derajat pemanasan sangat berarti. Belum terlambat untuk menyelamatkan sebagian besar gletser kita.”

Sponsored