
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara aktif memperkokoh pilar-pilar keuangan berkelanjutan di Indonesia. Langkah strategis ini salah satunya diwujudkan melalui penguatan Standar Pengungkapan Keberlanjutan (SPK), sebuah inisiatif kolaboratif antara OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan. SPK, yang telah disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia pada Juli lalu, bertujuan untuk menciptakan ekosistem pelaporan keberlanjutan yang transparan, akuntabel, dan selaras dengan kerangka kerja internasional.
Struktur SPK sendiri terbagi menjadi dua pernyataan krusial. Pernyataan SPK-1 menitikberatkan pada persyaratan umum pengungkapan informasi keuangan terkait keberlanjutan, sementara Pernyataan SPK-2 secara spesifik mengatur pengungkapan yang berhubungan dengan isu iklim. Kedua pilar ini membentuk landasan bagi laporan keberlanjutan yang komprehensif.
R. Joko Siswanto, Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, menegaskan komitmen lembaganya. Dalam paparannya di acara ‘Green Economy Outlook 2026’ di Jakarta, Kamis (11/12), beliau menyatakan, “OJK memperkuat standar transparansi untuk mendorong akuntabilitas pasar dan mencegah praktik greenwashing.” Pernyataan ini menggarisbawahi upaya OJK dalam memastikan integritas laporan dan praktik bisnis di sektor keuangan.
Lebih lanjut, Joko Siswanto memproyeksikan bahwa kualitas pengungkapan keberlanjutan akan menjadi instrumen strategis penentu daya saing lembaga jasa keuangan di masa mendatang. Hal ini sangat krusial, khususnya dalam menarik pendanaan berkelanjutan dan aliran investasi internasional yang semakin memprioritaskan aspek ESG.
Selain itu, OJK juga aktif mendorong implementasi Climate Risk Management and Scenario Analysis, yang saat ini difokuskan pada sektor perbankan dan akan diperluas ke seluruh sektor jasa keuangan lainnya. Menurut Joko, identifikasi risiko fisik dan transisi, stress testing, serta penyusunan strategi mitigasi merupakan elemen vital untuk memperkuat ketahanan sektor jasa keuangan dalam menghadapi dinamika ekonomi dan perubahan lingkungan yang semakin kompleks.
Dalam upaya membangun ekosistem yang solid, penguatan kapasitas dan literasi Environmental, Social, and Governance (ESG) di seluruh tingkat organisasi juga menjadi prioritas. OJK memfasilitasi hal ini melalui program peningkatan kapasitas dan kerja sama lintas sektor, memastikan kesiapan industri keuangan mencapai tingkat optimal dalam mengadopsi prinsip-prinsip ESG.
Tak berhenti di situ, penyempurnaan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKI) versi ketiga juga tengah digarap. Joko menjelaskan bahwa TKI ini dirancang untuk mempercepat transisi keberlanjutan di sektor keuangan, serta akan menjadi indikator utama dalam penilaian aspek keberlanjutan portofolio institusi keuangan.
Menanggapi serangkaian instrumen dan kebijakan ini, Ketua Umum Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA), Katharine Grace, mengungkapkan bahwa sektor swasta senantiasa berupaya untuk memenuhi komitmen yang ditetapkan oleh regulator.
Namun, Grace juga menekankan pentingnya dialog konstruktif. “Tetapi kami juga memperlihatkan kepada regulator, tantangan kita apa, kesulitan kita apa, memerlukan bantuan seperti apa,” ujarnya, menunjukkan perlunya pemahaman dua arah antara regulator dan pelaku industri.
Grace memandang positif penguatan keuangan berkelanjutan yang diinisiasi pemerintah melalui revisi Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017. Kendati demikian, ia mengingatkan agar pemerintah tetap mempertimbangkan secara cermat kondisi ekonomi Indonesia yang unik, tanpa serta-merta menyamakan standar dengan negara lain.
“Karena taksonomi setiap negara berbeda, ketergantungan kita pada sumber daya alam berisiko tinggi masih tinggi, kita tidak bisa langsung lompat,” pungkas Grace, memberikan perspektif yang realistis tentang transisi menuju praktik keuangan yang lebih hijau di Indonesia.