
JAKARTA – Proyeksi optimis menyelimuti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang diperkirakan berpotensi menembus level psikologis 9.000 pada penghujung tahun 2025. Namun, di balik prospek cemerlang ini, para investor diimbau untuk tetap mencermati bayang-bayang kebijakan moneter Bank Sentral AS atau The Fed yang bisa menjadi penentu arah.
Optimisme ini tercermin dari kinerja IHSG yang menunjukkan penguatan. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada perdagangan Jumat (12/12/2025), indeks komposit ini berhasil ditutup naik 0,46% ke posisi 8.660,50.
Menurut Hendra Wardana, seorang pengamat pasar modal sekaligus Founder Republik Investor, prospek positif IHSG hingga akhir tahun ini ditopang oleh beberapa faktor fundamental yang kuat. Valuasi pasar Indonesia dinilai masih relatif lebih kompetitif dibandingkan negara-negara di Asia lainnya. Selain itu, fundamental emiten big caps yang solid dan potensi masuknya kembali aliran dana asing setelah meredanya ketidakpastian kebijakan The Fed menjadi katalis penting. Hendra menambahkan, selama Bank Indonesia konsisten menjaga stabilitas rupiah dan arah suku bunga domestik, tren pemulihan IHSG diproyeksikan akan terus berlanjut pada paruh kedua tahun 2025.
Meski demikian, Hendra juga menyoroti potensi tantangan yang akan datang, terutama dari kebijakan moneter The Fed pada tahun 2026. Sebagai ilustrasi, pada Kamis (11/12/2025) lalu, IHSG sempat terkoreksi 0,92% ke level 8.620,48. Pelemahan ini, menurutnya, merupakan respons awal pasar terhadap sinyal hawkish yang disampaikan The Fed terkait proyeksi tahun 2026.
Penurunan IHSG tersebut tidak lepas dari pengumuman The Fed pada Kamis (11/12/2025) dini hari yang memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,5–3,75%. Awalnya, kabar ini sempat menimbulkan euforia di pasar dengan harapan adanya pelonggaran lebih lanjut. Namun, kegembiraan tersebut sirna ketika Ketua The Fed, Jerome Powell, mengindikasikan bahwa kemungkinan hanya akan ada satu kali pemangkasan suku bunga sepanjang tahun 2026. Pernyataan tersebut sontak memicu sentimen risk-off di seluruh pasar global, termasuk pasar modal Indonesia.
Hendra turut mencermati bahwa pelemahan IHSG kala itu diiringi oleh koreksi signifikan pada sejumlah saham-saham konglomerasi. Ia menegaskan, kondisi ini lebih merupakan bentuk penyesuaian terhadap risiko global daripada indikasi memudarnya kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia. Selain itu, arus keluar dana asing atau foreign outflow yang terjadi juga terbilang ringan, cenderung disebabkan oleh reposisi portofolio jelang akhir tahun.
Di tengah volatilitas tersebut, beberapa sektor seperti properti, teknologi, dan infrastruktur mengalami tekanan yang lebih besar karena sifatnya yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Berbeda halnya dengan sektor energi, yang justru menunjukkan penguatan seiring stabilitas harga komoditas global.
Menyikapi kondisi pasar yang masih bergejolak, Hendra menyarankan agar para investor menerapkan strategi buy on weakness. Pendekatan ini perlu dilakukan secara selektif, dengan fokus pada saham-saham yang memiliki fundamental kuat serta katalis positif jangka menengah yang prospektif.
Momen koreksi yang terjadi saat ini justru dapat dimanfaatkan sebagai ruang untuk mengakumulasi saham-saham. Terutama, saham-saham berlikuiditas besar, emiten dari sektor energi, serta perusahaan berbasis komoditas yang masih berpotensi mengalami rerating valuasi.
Lebih lanjut, Hendra merinci beberapa saham pilihan yang menarik untuk dicermati oleh investor. Di antaranya adalah SCMA dengan rekomendasi beli dan target harga Rp500, didukung oleh perbaikan monetisasi digital. Kemudian, saham BUMI diproyeksikan mencapai Rp400, didorong sentimen potensi masuknya ke MSCI Index pada Februari 2026. Ada pula BRMS dengan rekomendasi speculative buy dan target harga Rp1.035, sejalan dengan rencana ekspansi perseroan di tambang emas. Terakhir, saham BULL juga menjadi sorotan dengan target harga Rp356, seiring dengan meningkatnya permintaan angkutan energi.
Hendra menyimpulkan, meskipun tekanan jangka pendek masih terasa di pasar, pasar domestik tetap memiliki fundamental yang kuat untuk kembali bangkit. Prospek pemulihan ini akan semakin nyata seiring meredanya ketidakpastian global dan meningkatnya kembali minat investor terhadap aset-aset berisiko pada tahun mendatang.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.