Penggunaan model kecerdasan buatan (AI) terbaru memicu kekhawatiran baru terkait konsumsi energi. Penelitian menunjukkan bahwa model seperti Lama 3.1, dengan delapan miliar parameternya, mampu meningkatkan konsumsi daya hingga empat kali lipat hanya dalam 200 milidetik – atau 0,2 detik. Profesor Teknik Mesin di National University of Singapore (NUS), Lee Poh Seng, memperingatkan potensi ketidakstabilan sistem energi akibat lonjakan daya yang ekstrem ini.
Dalam presentasinya di NeutraDC Summit 2025 di Nusa Dua, Bali (25/8), Profesor Lee menjelaskan bahwa kebutuhan daya tinggi AI generasi terbaru, yang didukung oleh perangkat keras canggih seperti GPU NVIDIA RTX 4090, cip X200, dan Blackwell, melampaui sekadar kecepatan pemrosesan. Tantangan utama justru terletak pada infrastruktur energi yang harus mampu mengatasi lonjakan daya yang terjadi secara tiba-tiba dan intensif ini. “Infrastruktur daya harus dirancang untuk mendukung reliabilitas sistem, bukan hanya mengandalkan kecepatan cip,” tegasnya.
Perkembangan ini mendorong diskusi mengenai aspek keberlanjutan dalam pengembangan AI. Selain efisiensi energi, transparansi, dan pengurangan emisi karbon menjadi sorotan. Teknologi blockchain berbasis sistem kuantum dianggap sebagai solusi potensial, menawarkan algoritma pembayaran yang lebih transparan dan mekanisme offset karbon terintegrasi. Dengan demikian, inovasi AI diharapkan tidak hanya meningkatkan kemampuan komputasi, tetapi juga berdampak positif terhadap lingkungan.
Semih Ural, APAC – Africa Area Manager EAE Elektrik, menekankan pentingnya kolaborasi antar sektor untuk mempercepat adopsi solusi berkelanjutan. Ia mencontohkan Sustainable Tropical Data Center Testbed di NUS, sebuah platform kolaborasi antara akademisi, peneliti, dan industri yang telah beroperasi selama lebih dari tiga tahun. Platform ini memfasilitasi pengembangan bersama solusi data center hemat energi yang siap diadopsi industri.
Semih menjelaskan bahwa lonjakan daya listrik akibat AI ini merupakan burst workload – beban komputasi yang tiba-tiba melonjak. Oleh karena itu, strategi penjadwalan beban kerja (workload scheduling) menjadi krusial untuk memastikan kebutuhan listrik tetap sejalan dengan kapasitas energi yang tersedia. “Pendekatan kolaboratif memungkinkan penyesuaian jadwal beban kerja AI dengan ketersediaan energi, sehingga performa tinggi tetap tercapai tanpa mengorbankan stabilitas sistem listrik,” jelasnya.
Integrasi yang harmonis antara daya, perangkat keras, dan algoritma AI menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini. Kegagalan dalam integrasi tersebut berpotensi menimbulkan beban serius pada infrastruktur energi global. Pertumbuhan pesat AI modern menuntut inovasi tidak hanya di bidang perangkat keras, tetapi juga di bidang energi dan keberlanjutan. Langkah selanjutnya, menurut Semih, adalah mengintegrasikan riset dan industri untuk menciptakan sistem AI yang inovatif sekaligus ramah lingkungan.
Ringkasan
Model kecerdasan buatan (AI) terbaru, seperti Lama 3.1, memicu kekhawatiran karena konsumsi daya yang sangat tinggi. Dalam waktu 0,2 detik, konsumsi daya dapat meningkat hingga empat kali lipat. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi infrastruktur energi yang harus mampu mengatasi lonjakan daya secara tiba-tiba dan intensif tersebut.
Tantangan ini mendorong diskusi mengenai keberlanjutan AI, termasuk efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon. Kolaborasi antar sektor, seperti yang dilakukan di Sustainable Tropical Data Center Testbed di NUS, dianggap penting untuk mengembangkan solusi hemat energi. Strategi penjadwalan beban kerja juga krusial untuk memastikan kestabilan sistem listrik di tengah lonjakan konsumsi daya akibat AI.