DPR Bidik Revisi UU Perampasan Aset: Atasi Tumpang Tindih!

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertimbangkan untuk mengambil alih inisiatif pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sturman Panjaitan, menanggapi tuntutan demonstrasi “17+8” yang menyerukan percepatan pengesahan RUU tersebut. Saat ini, RUU Perampasan Aset masih berstatus usul inisiatif pemerintah dan tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029.

“Itu masih usulan pemerintah, tapi tidak apa-apa, siapapun mengusulkan, oke-oke saja,” ujar Sturman di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis lalu. Namun, jika DPR mengambil alih, prosesnya akan melibatkan penyusunan rancangan baru serta sejumlah rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk menjaring masukan dari berbagai pihak, termasuk ahli hukum dan ekonomi. Sturman menekankan pentingnya kajian mendalam untuk menghindari tumpang tindih dengan UU lain, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Kekhawatiran akan potensi tumpang tindih ini juga diutarakan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011, Chandra M. Hamzah. Dalam wawancara yang diunggah di YouTube Total Politik, Chandra menjelaskan bahwa beberapa poin dalam RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP) dan UU Tipikor. Ia mencontohkan Pasal 39 KUHAP yang mengatur tentang penyitaan aset yang digunakan atau dihasilkan dari tindak pidana, serta Pasal 19 UU Tipikor yang mengatur hal serupa, bahkan lebih komprehensif dalam konteks korupsi. Chandra menyarankan agar DPR memperhatikan hal ini agar tidak terjadi duplikasi aturan dan memaksimalkan UU yang sudah ada.

Di sisi lain, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto responsif terhadap tuntutan demonstran. Meskipun demikian, Wiranto menekankan bahwa tidak semua tuntutan dapat dipenuhi secara sekaligus. Pemerintah, menurut Wiranto, telah dan akan terus berupaya memenuhi aspirasi tersebut secara bertahap dan proporsional. Demonstrasi yang berlangsung sejak akhir Agustus 2025 ini menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat”, dengan tenggat waktu jangka pendek (5 September 2025) dan jangka panjang (31 Agustus 2026). Tuntutan tersebut mencakup berbagai hal, mulai dari investigasi kasus kekerasan aparat, reformasi kepolisian, hingga pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor dan penguatan KPK.

Baca juga:

  • Akrobat Green Era Lepas Saham BREN Berjilid-jilid, Apa Tujuan di Baliknya?
  • KPK Segera Panggil Ridwan Kamil dalam Dugaan Kasus Korupsi Bank BJB
  • Gita Wirjawan: Indonesia Kekurangan Pendongeng

Ringkasan

DPR mempertimbangkan untuk mengambil alih inisiatif pengesahan RUU Perampasan Aset, yang saat ini masih usulan pemerintah. Langkah ini merespon tuntutan demonstrasi “17+8” yang menuntut percepatan pengesahan RUU tersebut. Proses pengambilan alih akan melibatkan penyusunan rancangan baru dan RDPU untuk menghindari tumpang tindih dengan UU lain seperti UU Tipikor dan TPPU.

Kekhawatiran akan tumpang tindih aturan diungkapkan oleh mantan Ketua KPK, Chandra M. Hamzah. Ia menunjuk Pasal 39 KUHAP dan Pasal 19 UU Tipikor yang mengatur hal serupa dengan RUU Perampasan Aset. Oleh karena itu, DPR disarankan untuk mempertimbangkan hal ini agar tidak terjadi duplikasi aturan dan memaksimalkan UU yang sudah ada. Presiden Prabowo Subianto disebut responsif terhadap tuntutan demonstrasi, namun akan dipenuhi secara bertahap.

Tinggalkan komentar