Hilirisasi Hijau: Rahasia Ekonomi Berkelanjutan Indonesia

Hilirisasi industri, diharapkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, menghadapi tantangan signifikan terkait isu lingkungan. Namun, pengelolaan risiko dan tantangan tersebut secara berkelanjutan tetap memungkinkan.

Oleh karena itu, hilirisasi industri hijau muncul sebagai solusi. Strategi ini bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. “Hilirisasi industri hijau dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi menuju target 8 persen,” ungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, dalam plenary session Katadata SAFE 2025 di Jakarta, Kamis (11/9). Sesi tersebut bertajuk Green Industrialization as the Engine of Indonesia’s Economic Sovereignty.

Urgensi ini semakin relevan mengingat Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar kedelapan dunia, dengan pertumbuhan emisi rata-rata 5 persen per tahun selama 15 tahun terakhir. Laporan McKinsey bahkan memprediksi potensi lonjakan emisi hingga dua kali lipat pada 2060. Oleh karena itu, industri hijau menjadi solusi untuk menekan emisi sekaligus mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Hilirisasi industri hijau sendiri merupakan proses pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk industri dengan prinsip keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, mulai dari pengolahan bahan mentah hingga produk jadi. Esther menunjuk beberapa sektor strategis dalam implementasi ini: perkebunan, perikanan, kehutanan, kelautan, minyak dan gas, batu bara, serta mineral.

INDEF memetakan sekitar 28 komoditas bernilai tambah tinggi dari delapan sektor tersebut. Komoditas ini berpotensi mendorong pertumbuhan ekspor, meningkatkan pendapatan negara, dan memperbesar kapasitas ekonomi Indonesia. “Diharapkan, hilirisasi industri tidak hanya mengejar nilai tambah, tetapi juga mengurangi ketimpangan daerah dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja,” tambah Esther.

Diskusi tersebut juga menghadirkan Direktur Penyaluran Sektor Hilir Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Mohammad Alfansyah, yang memaparkan strategi hilirisasi industri kelapa sawit. Fokusnya adalah menciptakan permintaan domestik agar harga tetap kompetitif bagi petani. “Kini, harga yang diterima petani sawit terus mencatatkan rekor hampir setiap bulan,” katanya.

Untuk kelapa dan kakao, BPDP mendorong peran masyarakat dan koperasi dalam memproduksi produk turunan. “Kami menggerakkan inkubasi bisnis di sentra kelapa dan kakao agar komoditas tidak hanya dijual sebagai bahan mentah,” jelas Alfansyah. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Perindustrian sekaligus Menteri Perindustrian 2014–2016, Saleh Husin. Ia melihat peluang besar produk turunan sawit, tidak hanya untuk pangan, tetapi juga energi dan produk kesehatan (health and wellbeing). “Sawit ini produk turunannya cukup banyak, bisa untuk minyak goreng, sabun, sampo, hingga energi,” ujarnya.

Kajian WRI Indonesia mendukung hal ini. Praktik ekonomi rendah karbon diproyeksikan mendongkrak PDB rata-rata 5,11 persen pada 2060, jauh lebih tinggi dari skenario business as usual yang hanya 1,1 persen.

Katadata SAFE 2025, memasuki penyelenggaraan keenam, mengangkat tema Green for Resilience. Tema ini merespon tantangan krisis iklim dan dinamika global, sekaligus menekankan pentingnya ekonomi hijau sebagai solusi strategis untuk ketahanan dan keberlanjutan pembangunan nasional. Melalui berbagai forum, lokakarya, pameran, dan kolaborasi kreatif, SAFE menjadi wadah penggerak aksi nyata menuju ekonomi yang inklusif dan tangguh.

Ringkasan

Hilirisasi industri hijau di Indonesia diyakini sebagai solusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% sambil menjaga kelestarian lingkungan. Strategi ini mengatasi tantangan emisi gas rumah kaca yang tinggi di Indonesia, dengan fokus pada pengembangan nilai tambah produk dari berbagai sektor seperti perkebunan, perikanan, dan pertambangan, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan daerah.

Implementasi hilirisasi hijau difokuskan pada sekitar 28 komoditas bernilai tambah tinggi. Upaya ini meliputi peningkatan permintaan domestik untuk komoditas seperti kelapa sawit, pendorong peran masyarakat dalam pengolahan produk turunan kelapa dan kakao, serta pengembangan produk turunan sawit untuk berbagai sektor, termasuk energi dan kesehatan. Studi menunjukkan ekonomi rendah karbon berpotensi meningkatkan PDB jauh lebih signifikan dibanding skenario tanpa perubahan.

Tinggalkan komentar