Sponsored

Repo Obligasi Korporasi BI: Dampak Ekonomi & Peluang Investasi

JAKARTA – Rencana Bank Indonesia (BI) untuk memperluas instrumen operasi moneter melalui penerimaan obligasi korporasi sebagai agunan dalam transaksi *repurchase agreement* (repo) dipandang sebagai langkah strategis untuk memperkuat likuiditas pasar keuangan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi katalisator bagi pembiayaan sektor riil, meskipun potensi risiko tetap perlu diwaspadai.

Sponsored

David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), menjelaskan bahwa perkembangan obligasi korporasi di Indonesia selama ini terhambat oleh keterbatasan pada sisi penawaran (*supply*) dan permintaan (*demand*). Jumlah perusahaan yang menerbitkan obligasi masih relatif sedikit, sementara minat investor terhadap instrumen jangka menengah dan panjang juga belum optimal. Investor cenderung lebih memilih instrumen yang likuid dan pembiayaan melalui perbankan masih mendominasi.

“Kebutuhan pembiayaan saat ini masih banyak dipenuhi oleh kredit perbankan,” ujarnya pada Senin (10/11/2025).

Dengan adanya kebijakan baru ini, David melihat BI akan memiliki amunisi tambahan dalam mengelola transmisi kebijakan moneter. Ia mengidentifikasi empat potensi dampak positif yang dapat dihasilkan. Pertama, potensi transaksi repo akan meningkatkan permintaan terhadap obligasi korporasi. Kedua, peningkatan permintaan ini berpotensi menurunkan imbal hasil (*yield*) obligasi, sehingga penerbitan obligasi menjadi lebih kompetitif bagi perusahaan. Ketiga, BI akan memiliki instrumen tambahan untuk mengendalikan transmisi kebijakan moneter. Keempat, perusahaan secara tidak langsung akan terdorong untuk meningkatkan tata kelola dan peringkat kredit mereka agar memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Meskipun berpotensi memperkuat likuiditas pasar keuangan dan mendorong pembiayaan sektor riil, David mengingatkan bahwa risiko gagal bayar tetap menjadi perhatian utama, sama seperti risiko pada pinjaman korporasi pada umumnya.

“Dalam hal ini, kategorisasi dari Bank Indonesia terkait kualitas obligasi dan peran lembaga pemeringkat menjadi sangat krusial,” tegasnya.

Diyakini Jadi Mesin Pembiayaan Baru

Agustina Dharmayanti, Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI), menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ini diawali dengan penerimaan obligasi korporasi terbitan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF sebagai agunan repo di pasar sekunder. Pemilihan SMF didasarkan pada pemenuhan kriteria yang ditetapkan BI, mulai dari peringkat kredit hingga likuiditas.

“Lalu, siapa yang akan membeli [repo obligasi korporasi]? Ada bank, IKNB [industri keuangan non-bank], dana pensiun, dan juga korporasi,” ungkap Agustina dalam taklimat media di Kantor BI, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Mekanisme ini, lanjutnya, akan menciptakan rantai likuiditas baru di pasar keuangan. Bank atau IKNB yang bukan *dealer* utama tetap dapat mengakses dana melalui repo ke *dealer* utama, yang kemudian dapat melanjutkan repo tersebut ke Bank Indonesia.

Kebijakan ini juga akan meningkatkan likuiditas dan daya tarik obligasi korporasi bagi investor, karena dapat digunakan sebagai instrumen pendanaan jangka pendek.

“Jadi, jika saya membutuhkan likuiditas, saya tinggal repo-kan saja ke *dealer* utama, dan *dealer* utama ke Bank Indonesia,” jelasnya.

Ke depan, BI berencana membuka opsi penggunaan obligasi korporasi selain terbitan SMF sebagai agunan transaksi repo, asalkan obligasi tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Agustina menjelaskan bahwa persyaratan tersebut diatur dalam Undang-undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang memberikan BI wewenang untuk melakukan operasi moneter melalui repo atas surat berharga berkualitas tinggi.

Dalam aturan turunan Peraturan Bank Indonesia, kriteria surat berharga berkualitas tinggi mencakup: dapat diperdagangkan (*tradeable*), tercatat di rekening peserta operasi moneter, aktif diperdagangkan dalam periode tertentu, memiliki peringkat tinggi (minimal AAA), dan tidak sedang diagunkan.

Obligasi korporasi terbitan SMF dinilai telah memenuhi semua kriteria tersebut sehingga memenuhi syarat untuk dijadikan agunan transaksi repo ke BI. BI tidak menutup kemungkinan untuk menerima obligasi korporasi lain sebagai agunan transaksi repo jika memenuhi persyaratan yang sama.

Lebih lanjut, Agustina menegaskan bahwa pengembangan repo berbasis obligasi korporasi bukan hanya sekadar memperluas operasi moneter, tetapi juga merupakan bagian dari upaya memperkuat transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.

Jika selama ini bank hanya dapat membiayai sektor riil melalui kredit langsung, kini mereka dapat melakukannya dengan membeli obligasi korporasi. Obligasi korporasi inilah yang kemudian akan langsung membiayai sektor riil.

“Inilah kontribusi Bank Indonesia terhadap pembiayaan ekonomi secara tidak langsung, karena kita tidak boleh mencetak uang dan langsung membeli [obligasi]. Prosesnya harus seperti itu,” tegasnya.

Obligasi Korporasi Masih Minim

Sementara itu, Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Fitra Jusdiman, menambahkan bahwa selama ini repo yang dilakukan oleh bank sentral hanya menerima Surat Berharga Negara (SBN) sebagai agunan. Padahal, pasar keuangan memiliki berbagai jenis obligasi yang berpotensi digunakan untuk mengakses likuiditas dari BI.

“Harapannya, penerbitan instrumen selain SBN di pasar juga bisa lebih berkembang. Karena instrumen tersebut dapat digunakan sebagai agunan atau *underlying* untuk repo kepada Bank Indonesia,” ungkap Fitra pada kesempatan yang sama.

Ia menyoroti komposisi pasar obligasi Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara maju. Data BI menunjukkan bahwa nilai obligasi korporasi di Indonesia hanya setara dengan 2,1% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Korea Selatan (60,7% dari PDB), Singapura (27,06% dari PDB), maupun Jepang (16,8% dari PDB).

Banyak bank sentral di negara maju telah menerima berbagai jenis obligasi, baik pemerintah maupun korporasi, sebagai *underlying* repo.

Oleh karena itu, BI juga akan mengikuti tren di negara-negara maju tersebut, sehingga tercipta alternatif pembiayaan bagi dunia usaha di luar sistem perbankan. Selama ini, perusahaan lebih banyak mengandalkan pinjaman bank karena pasar obligasi korporasi masih belum berkembang.

“Jika perusahaan dapat lebih banyak menerbitkan obligasi, mereka akan mendapatkan alternatif sumber pinjaman yang lebih variatif dan juga dengan *cost of fund* yang lebih efisien,” pungkas Fitra.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) berencana memperluas instrumen operasi moneter dengan menerima obligasi korporasi sebagai agunan dalam transaksi repurchase agreement (repo). Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat likuiditas pasar keuangan dan mendorong pembiayaan sektor riil. BI melihat potensi peningkatan permintaan obligasi korporasi, penurunan imbal hasil obligasi, dan instrumen tambahan untuk mengendalikan transmisi kebijakan moneter.

Implementasi kebijakan ini diawali dengan obligasi korporasi terbitan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai agunan repo. BI menetapkan kriteria ketat untuk obligasi yang dapat diterima, termasuk peringkat kredit dan likuiditas. Kebijakan ini diharapkan menciptakan rantai likuiditas baru dan meningkatkan daya tarik obligasi korporasi, serta mendorong perusahaan meningkatkan tata kelola dan peringkat kredit mereka.

Sponsored