Presidensi COP30 secara aktif menggaungkan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil sebagai kunci untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan. Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah strategi fundamental yang diharapkan mampu mengubah lanskap energi global.
Presiden COP30, André Corrêa do Lago, menegaskan bahwa transisi energi harus dirancang secara komprehensif, merangkul seluruh sendi perekonomian dan masyarakat. Proses ini tidak hanya berarti perubahan teknologi, tetapi juga transformatif dalam cara kita bekerja, memproduksi, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Menurutnya, aksi iklim bukanlah domain eksklusif pemerintah, melainkan sebuah konstruksi kolektif yang dibangun melalui kerja sama erat antarberbagai elemen masyarakat. “Jika kita sungguh ingin mempercepat implementasi Perjanjian Paris, maka setiap langkah dalam transisi ini harus berorientasi pada perlindungan mata pencarian, penciptaan pekerjaan yang layak, dan pengurangan kesenjangan sosial,” ujar Lago, dalam sebuah kesempatan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, menggarisbawahi urgensi percepatan implementasi transisi yang berkeadilan, terutama pada skala nasional dan lokal. “Aksi iklim memang telah menunjukkan progres yang menjanjikan, namun kita memerlukan kecepatan dan skala yang jauh lebih besar untuk mencapai dampak maksimal,” tambahnya.
Baca juga:
- COP30 Serukan Penggunaan Teknologi hingga AI untuk Lawan Perubahan Iklim
Dalam konteks negosiasi iklim, tidak hanya delegasi negara (Party) dan pengamat yang memiliki suara. Peran masyarakat sipil sangat vital, diwakili oleh apa yang disebut sebagai “konstituensi”. Kelompok ini terdiri dari sembilan gugus tematik dari berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) yang aktif berpartisipasi dalam setiap Konferensi Para Pihak (COP). Suara mereka didengar langsung oleh para pihak negosiator dan kontribusi mereka diperhitungkan dalam agenda resmi melalui berbagai mekanisme dialog terbuka.
Pada hari kedua konferensi, dialog antara para konstituensi menjadi platform penting untuk membahas peran krusial kerja sama internasional dalam mengakselerasi dan mendukung transisi energi yang berkeadilan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Diskusi mendalam ini juga berfokus pada strategi untuk menerjemahkan hasil-hasil musyawarah menjadi aksi nyata yang berdampak langsung.
Bert De Wel, Koordinator Global Kebijakan Iklim di International Trade Union Confederation (ITUC) sekaligus perwakilan dari TUNGO (Trade Union Organizations), memberikan rangkuman komprehensif dari jalannya diskusi antara para konstituensi dan presidensi. “Kami menyimak YOUNGO (Organisasi Pemuda) yang menawarkan saran-saran konkret mengenai aspek keuangan. Rekan saya dari IPO (Organisasi Masyarakat Adat) menguraikan aspek hukum untuk menjamin persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan. RINGO (Organisasi Riset dan NGO Independen) dan kelompok petani juga turut serta dalam diskusi. Sementara itu, konstituensi Perempuan dan Gender menyoroti isu-isu terkait mineral kritis,” pungkas De Wel.
Sebagai catatan penting, sebelumnya Global Youth Statement (GYS) yang mewakili ribuan pemuda dari lebih dari 150 negara telah menyuarakan seruan kuat untuk pergeseran arah kebijakan iklim global. Mereka mendesak agar transisi energi yang adil menjadi prioritas, disokong oleh pendanaan iklim yang bebas utang, serta memastikan keterlibatan bermakna bagi kelompok muda dan komunitas rentan. Mandat yang disuarakan oleh generasi muda ini menyoroti tiga prinsip mendasar yang kini semakin tercermin dalam agenda global:
- Transisi energi harus adil dan berpihak pada rakyat, bukan sekadar proyek elite yang justru memperpanjang ketergantungan pada batu bara dan industri ekstraktif.
- Pendanaan iklim tidak boleh berbasis utang yang membebani generasi muda, melainkan harus berbentuk hibah dan dukungan langsung yang berpihak pada komunitas rentan.
- Partisipasi pemuda dan masyarakat adat harus diakui sebagai hak yang fundamental, bukan sekadar simbolik dalam forum-forum kebijakan.
Ringkasan
Presidensi COP30 menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam mempercepat transisi energi yang berkeadilan, sebagai strategi fundamental untuk mengubah lanskap energi global. Presiden COP30, André Corrêa do Lago, menyatakan bahwa transisi energi harus merangkul seluruh sendi perekonomian dan masyarakat, bukan hanya perubahan teknologi tetapi juga transformatif dalam cara kita bekerja dan memproduksi.
Berbagai konstituensi dari organisasi non-pemerintah (NGO) aktif berpartisipasi dalam setiap Konferensi Para Pihak (COP) dan menyuarakan pendapatnya kepada para negosiator. Global Youth Statement (GYS) juga menyerukan transisi energi yang adil, pendanaan iklim yang bebas utang, serta keterlibatan bermakna bagi kelompok muda dan komunitas rentan, yang kini tercermin dalam agenda global.