Pemerintah Indonesia bersiap meluncurkan kebijakan krusial di sektor pertambangan yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam negara. Mulai tahun 2026, bea keluar atau pajak ekspor batu bara akan diberlakukan, dengan tarif yang diperkirakan berada dalam rentang 1% hingga 5%. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah untuk memastikan kontribusi sektor pertambangan yang lebih substansial terhadap keuangan negara.
Kebijakan pengenaan pajak ekspor ini dirancang sebagai instrumen vital untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus membenahi tata kelola sektor komoditas. Purbaya secara tegas menyatakan bahwa pemerintah tidak berniat terus-menerus memberikan subsidi kepada industri batu bara tanpa adanya imbal balik yang seimbang terhadap kas negara. “Targetnya jelas, berapa triliun harus dicapai. Jangan sampai kami memberikan subsidi pada industri batu bara,” ujar Purbaya pada Senin, 15 Desember.
Penerapan bea keluar batu bara ini melengkapi inisiatif serupa yang telah lebih dulu diterapkan pada komoditas emas. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan pajak ekspor emas dengan tarif yang lebih tinggi, berkisar antara 7,5% hingga 15%, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan tersebut, yang ditetapkan pada 17 November 2025 dan diundangkan pada 9 Desember 2025, akan mulai berlaku efektif setelah 14 hari sejak tanggal pengundangannya.
Secara garis besar, implementasi bea keluar untuk ekspor emas maupun batu bara memiliki beragam tujuan strategis. Kebijakan ini diarahkan untuk menjaga ketersediaan pasokan domestik, mendorong percepatan hilirisasi, memperkuat pengawasan atas transaksi komoditas, serta secara signifikan meningkatkan penerimaan negara. Lebih lanjut, langkah ini juga selaras dengan amanat Pasal 2A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang memungkinkan penerapan bea keluar untuk menstabilkan harga komoditas dan menjamin suplai dalam negeri.
Untuk komoditas emas, fokus utama pajak ekspor adalah peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui proses hilirisasi yang lebih mendalam, pemenuhan kebutuhan emas dalam ekosistem perbankan bullion, optimalisasi pengawasan terhadap setiap transaksi, serta tentunya peningkatan kontribusi ke kas negara.
Sementara itu, kebijakan bea keluar batu bara diorientasikan untuk secara simultan mendorong hilirisasi industri batu bara dan mendukung agenda besar dekarbonisasi. Meskipun dunia sedang bergerak menuju transisi energi, peran batu bara masih tetap krusial dalam menjaga stabilitas dan ketahanan perekonomian nasional pada fase ini.
Sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, Indonesia menghadapi tantangan signifikan karena sebagian besar ekspornya masih berbentuk bahan mentah. Kondisi ini menyebabkan perolehan nilai tambah yang belum optimal. Oleh karena itu, pemerintah melihat instrumen fiskal ini sebagai langkah strategis untuk mentransformasi struktur industri, dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi penghasil produk dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi.
“Untuk itu, instrumen bea keluar disiapkan guna meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendorong hilirisasi dan dekarbonisasi, yang saat ini mekanismenya sedang kami finalisasi bersama kementerian terkait,” terang Purbaya saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Senin, 8 Desember. Pernyataan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menyempurnakan kerangka kerja kebijakan ini demi mencapai tujuan ekonomi dan lingkungan yang ambisius.