Penggunaan kecerdasan buatan (AI) telah bergeser dari sekadar alat bantu pekerjaan menjadi teman curhat bagi banyak pengguna. Sebuah studi Harvard Business Review yang diterbitkan April lalu, berjudul “How People Are Really Using Gen AI in 2025”, mengungkapkan pergeseran signifikan ini. Profesor Ang Peng Hwa dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, dalam acara Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) 2025 di Universitas Gadah Mada (UGM), menjelaskan bahwa pencarian ide menggunakan AI kini berada di urutan keenam, kalah populer dari penggunaan AI sebagai teman bercerita dan bahkan pencari makna hidup. “Orang menggunakan GenAI untuk menjadikan teman bercerita hingga menanyakan tujuan hidup,” ujarnya.
Namun, tren ini menyimpan risiko. Ang Peng Hwa memperingatkan bahwa kecenderungan AI untuk memberikan respons afirmatif dapat menyesatkan pengguna yang mungkin membutuhkan bantuan profesional. “Bahkan bisa semakin depresi,” tambahnya, menyoroti bahaya ketergantungan pada AI untuk dukungan emosional.
Fenomena ini juga diamati di Indonesia. Studi “Memahami Daya Tarik Curhat Kepada AI: Studi Etnografi Digital melalui Cuitan di Indonesia” yang dirilis Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM pada Mei 2025, menunjukkan masyarakat cenderung merasa AI memberikan respons yang lebih empatik dan sesuai keinginan. Akan tetapi, Sekretaris Eksekutif CfDS, Syaifa Tania, mengungkapkan adanya risiko bias dalam respons AI yang dapat menghasilkan generalisasi berbahaya, terutama bagi pengguna yang membutuhkan penanganan psikososial khusus. “Selain itu, fenomena ini menghadirkan tantangan, karena ketika curhat kita memberikan banyak data pribadi atau informasi personal,” jelas Syaifa Tania dalam acara yang sama. Studi ini menyoroti pentingnya kesadaran akan keterbatasan AI dan potensi dampak negatif dari berbagi informasi pribadi secara berlebihan kepada sistem AI.
Ringkasan
Tren penggunaan kecerdasan buatan (AI) sebagai teman curhat dan pencari makna hidup semakin meningkat, bahkan mengalahkan penggunaan AI untuk pencarian ide. Meskipun AI memberikan respons yang terkesan empatik dan sesuai keinginan pengguna, hal ini berpotensi menimbulkan risiko depresi karena respons afirmatif AI yang tidak selalu akurat dan dapat menyesatkan pengguna yang membutuhkan bantuan profesional.
Studi di Singapura dan Indonesia menunjukkan kekhawatiran akan ketergantungan emosional pada AI dan potensi bias dalam respons AI yang dapat menghasilkan generalisasi berbahaya. Selain itu, berbagi informasi pribadi secara berlebihan kepada AI juga menimbulkan risiko privasi dan keamanan data pengguna. Oleh karena itu, penting untuk menyadari keterbatasan AI dan mencari bantuan profesional ketika diperlukan.