Sponsored

Duka sebagai komoditas – Berita Terkini

Di tengah kepedihan mendalam yang masih merobek hati warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—menyusul banjir bandang, tanah longsor, rumah yang tersapu arus, serta nyawa yang melayang—kita disuguhi pemandangan yang jauh lebih memilukan. Bukan hanya lumpur pekat yang menyelimuti jalan atau puing yang menghalangi pandangan, melainkan duka yang bertransformasi menjadi komoditas. Kesedihan warga diubah menjadi aset visual. Air mata kehilangan diolah menjadi materi siaran. Tragedi diperlakukan layaknya panggung sandiwara, tempat para politikus yang seharusnya bekerja justru tampil sebagai aktor utama dalam lakon pencitraan murahan.

Sponsored

Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis: Mengapa duka begitu mudah dikomodifikasi? Sejak kapan tragedi dapat diperdagangkan dalam pasar politik pencitraan yang kejam? Dan benarkah kemanusiaan kini memiliki nilai tukar dengan elektabilitas semata?

Ketika para korban masih gigih mencari anggota keluarga mereka di antara reruntuhan, dan pengungsi masih menggigil kedinginan di tenda-tenda darurat, sebagian politikus justru datang bersama rombongan yang tak lupa membawa kamera. Mereka berjalan lambat, mengumbar tatapan jauh seolah penuh empati, sembari memanggul sekarung beras sebagai simbol ketulusan hati. Patut dipertanyakan: Apakah ini benar-benar wujud kepedulian tulus, ataukah sekadar taktik pencitraan politikus yang direkayasa? Apakah ini bentuk solidaritas murni, atau justru “konten” yang telah direncanakan matang sejak malam sebelumnya?

Politik Visual: Memanfaatkan Bencana sebagai Peluang Citra

Bagi sebagian politikus, bencana alam bukan hanya peristiwa geologis biasa. Ia adalah peluang visual yang tak ternilai. Semakin dramatis latar belakangnya—air bah yang belum surut, rumah yang ditelan sungai, atau tangisan pilu anak-anak—semakin kuat pula citra yang dapat mereka unggah. Kamera seolah menjadi saksi yang lebih utama daripada penderitaan warga. Sudut pengambilan gambar lebih dipikirkan ketimbang mencari solusi nyata. Apakah ini hakikat kepemimpinan? Atau justru bentuk paling telanjang dari komodifikasi duka?

Baca juga:

  • Laporan dari Padang: Jejak Amuk Banjir Bandang dan Duka Warga yang Tak Hilang
  • Mensos Gus Ipul Apresiasi Influenser Galang Donasi Bencana Sumatra, tapi Izin
  • Bupati Aceh Selatan Mirwan MS Diberhentikan 3 Bulan Imbas Umrah saat Bencana

Politik visual semacam ini beroperasi dengan logika yang sederhana dan memprihatinkan: yang penting adalah kehadiran, bukan kinerja; yang diutamakan adalah tampilan empati, bukan kebijakan; yang dipamerkan adalah kepahlawanan semu, bukan penyelesaian masalah substansial. Di tengah kekacauan pascabencana, mereka hadir sebagai “tokoh utama” dalam potret-potret heroik yang sesungguhnya tak pernah diminta. Bukankah jauh lebih krusial memperbaiki sistem mitigasi bencana demi mencegah tragedi berulang, daripada sibuk memotret diri sendiri? Bukankah memastikan logistik tersalurkan dengan cepat jauh lebih mendesak, daripada mengulang-ulang adegan memanggul bantuan agar terlihat “natural”? Sayangnya, di hadapan kamera, logika seringkali bergeser. Bencana pun berubah menjadi panggung, korban menjadi figuran, dan duka menjadi komoditas politik.

Ketika Empati Hanya Sebuah Peran

Empati sejati tak pernah membutuhkan dokumentasi. Ia bergerak dalam keheningan, tanpa sorotan, tanpa perlu pengumuman. Namun, kini empati justru kerap bertransformasi menjadi sebuah adegan yang dipentaskan. Kita melihat politikus yang berjalan di antara tenda pengungsian sambil mengangguk-angguk penuh gaya. Ada yang memeluk korban sembari melirik kamera, memastikan sudut pandang yang tepat. Bahkan, ada pula yang memanggul beras dengan gestur dramatis, padahal rombongan mereka jauh lebih siap mengangkat lebih banyak bantuan tanpa perlu sorotan media.

Lantas, untuk siapa sesungguhnya adegan-adegan ini dipersiapkan? Untuk korban yang sedang menangis dan membutuhkan bantuan? Ataukah untuk publik di internet, yang kelak akan melihatnya dengan iringan musik sendu dan caption heroik? Jika empati harus diatur, diulang, dan disesuaikan dengan pencahayaan terbaik, apakah ia masih pantas disebut empati yang tulus?

Komodifikasi duka bekerja dengan cara ini: ia mengambil kesedihan orang lain, memolesnya sedemikian rupa, lalu menjualnya sebagai citra moral seorang politikus. Pertanyaan besar kemudian muncul: Di manakah letak kemanusiaan dalam praktik yang demikian?

Bencana sebagai Etalase Politik dan Ego

Dalam arena politik yang kian sarat persaingan pencitraan, bencana merupakan etalase paling efektif. Di sana terkandung drama, air mata, dan kehancuran—unsur-unsur yang selalu bekerja kuat dalam komunikasi visual. Tak mengherankan jika tak sedikit politikus datang ke lokasi bencana bukan untuk bekerja, melainkan untuk tampil. Contohnya yang paling menjengkelkan adalah adegan seorang wakil rakyat mengenakan rompi perang dan kacamata taktis, seolah sedang berada di medan tempur. Padahal, yang dihadapi bukanlah musuh, melainkan warga yang telah kehilangan segalanya.

Apa esensi dari rompi perang di tengah lokasi pengungsian? Apa gunanya menunjuk-nunjuk puing di depan kamera? Apa manfaat memamerkan “ketegasan” ketika rakyat sejatinya membutuhkan kehadiran yang solutif, bukan performatif? Rumah yang hancur bukanlah properti film yang bisa diatur. Lumpur yang menelan harta benda warga bukanlah latar yang estetik untuk berpose. Duka orang lain sama sekali tidak seharusnya menjadi komoditas bagi ambisi seseorang untuk tampil gagah dan berkuasa.

Mengapa sebagian politikus begitu tega memperlakukan tragedi sebagai etalase? Dan sampai kapan luka rakyat akan terus dijadikan ruang pamer bagi ego kekuasaan yang tak berkesudahan?

Panggung Moral yang Kosong: Bahaya Komodifikasi Duka

Komodifikasi duka tak hanya menjijikkan karena selera rendahnya, melainkan juga memuakkan karena secara telanjang menyingkap kekosongan moral. Betapa mudahnya air mata korban dipinjam demi membangun reputasi. Betapa ringannya bencana banjir dijadikan peluang branding pribadi. Betapa tak malunya sebagian pemimpin kita ketika reruntuhan rumah warga justru dianggap sebagai dekorasi yang “menguatkan narasi kepedulian” mereka.

Kepemimpinan semacam ini tak hanya hampa nilai, tetapi juga sangat berbahaya. Jika duka dapat dengan mudah dikomodifikasi hari ini, apa lagi yang akan dikomoditaskan esok hari? Kemiskinan? Kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar? Luka sosial yang menganga? Hingga kapan kita akan membiarkan bencana menjadi “ruang kreatif” bagi para politikus yang haus tepuk tangan dan pujian?

Ketulusan yang Terlupakan: Antara Kerja Nyata dan Akting Semata

Tentu saja, tidak semua pemimpin berperilaku demikian. Ada mereka yang bekerja tulus tanpa gemerlap kamera, tanpa rombongan besar, dan tanpa unggahan di media sosial. Ada yang mengirimkan bantuan tanpa perlu mencantumkan nama di setiap karung. Ada yang hadir untuk mendengarkan keluh kesah, bukan untuk tampil dan berpose. Merekalah para pemimpin yang memahami bahwa tragedi bukanlah panggung, duka bukanlah komoditas, dan kepemimpinan bukanlah soal citra, melainkan tanggung jawab moral yang diemban.

Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: Mampukah publik membedakan ketulusan dari akting semata? Di era banjir informasi yang serba cepat ini, apakah kita masih sanggup melihat siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya sekadar berpose demi pencitraan? Ataukah justru kita sendiri telah terbiasa melihat politik sebagai tontonan belaka, sehingga substansi diabaikan dan politik visual diterima sebagai sesuatu yang lumrah?

Penutup: Mengakhiri Perdagangan Duka

Duka sebagai komoditas adalah cermin paling jujur yang memantulkan moralitas politik kita saat ini. Ketika tragedi dijadikan alat kampanye, ketika bencana diperlakukan layaknya panggung, ketika air mata dianggap aset visual untuk pencitraan politikus, maka yang sesungguhnya hancur bukan hanya rumah-rumah warga, tetapi juga kehormatan dan martabat kepemimpinan itu sendiri.

Pertanyaannya kini kembali kepada kita sebagai publik: Sampai kapan duka akan terus diperdagangkan? Sampai kapan tragedi dijadikan konten belaka? Dan sampai kapan para pemimpin merasa sah memanfaatkan luka orang lain demi membangun citra kepahlawanan semu?

Sudah saatnya publik bersuara dengan tegas: Cukup! Duka bukanlah barang dagangan. Kesedihan bukanlah komoditas. Empati yang sejati tidak memerlukan kamera atau sorotan media. Jika politik masih ingin dihormati dan bermartabat, ia harus kembali kepada esensi tugasnya. Dan martabat itu hanya akan lahir dari ketulusan dan tanggung jawab, bukan dari sekadar pose atau akting belaka.

Sponsored