Dalam lanskap ekonomi dan pasar tenaga kerja yang diselimuti ketidakpastian, sebuah fenomena menarik telah muncul: para pekerja kini cenderung bertahan pada pekerjaan mereka saat ini, bahkan ketika rasa tidak nyaman dan ketidakpuasan melingkupi lingkungan kerjanya. Fenomena ini, yang dikenal sebagai “job hugging”, menggambarkan keputusan pekerja untuk memegang erat posisi mereka demi stabilitas di tengah kondisi yang tidak menentu.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan tren “job hopping” yang sebelumnya populer, terutama di kalangan generasi muda. Kala itu, pekerja muda merespons ketidaknyamanan atau ketidakpuasan dengan cepat berpindah pekerjaan, tak hanya untuk menjaring pengalaman baru, tetapi juga untuk mengupayakan upah yang lebih baik layaknya “kutu loncat”. Kini, prioritas utama telah bergeser; pekerja lebih memilih untuk fokus pada stabilitas pemasukan dibandingkan mengambil risiko perpindahan.
Di Amerika Serikat, firma konsultan global Korn Ferry bahkan menganggap fenomena ini telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Tingkat pekerja yang meninggalkan pekerjaan mereka secara sukarela atau quits rate terpantau rendah. Banyak pekerja memilih untuk tetap bertahan dalam pekerjaan yang sama dalam enam bulan ke depan, didorong oleh keraguan bahwa peluang pekerjaan yang lebih baik akan tersedia di luar sana.
“Ketidakpastian global, ekonomi, dan politik, membuat orang-orang berada di pola bertahan,” ungkap Matt Bohn, salah satu konsultan Korn Ferry, seperti yang dikutip CNBC, menegaskan mentalitas pekerja saat ini.
Fenomena “bertahan” di tengah stagnasi pasar tenaga kerja ini juga nyata terjadi di Indonesia. Hasil survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) telah masuk ke zona pesimistis, berada di bawah 100 poin selama empat bulan berturut-turut. Pada Agustus 2025, indeks tersebut bahkan terjun ke 93,2 poin, anjlok tajam 13,4% secara tahunan (yoy).
Data lebih lanjut menyoroti tekanan pada pasar tenaga kerja di Indonesia. Hingga Agustus, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) telah mencapai lebih dari 44 ribu orang. Sementara itu, distribusi pengangguran di kalangan sarjana melonjak signifikan pada Februari 2025, mencapai 13,89%. Ironisnya, semakin banyak angkatan kerja yang terserap ke sektor informal, mencakup 59,40% dari total pekerja per Februari 2025, mengindikasikan ketersediaan pekerjaan berkualitas yang semakin menipis.
Pada paruh pertama 2025, survei BI juga melaporkan bahwa makin banyak pekerja yang mengalami stagnasi upah, bahkan penurunan upah. Alih-alih mengambil risiko berpindah tempat kerja di tengah situasi yang rentan ini, para pekerja yang menganut prinsip “job hugging” lebih memilih solusi alternatif: mencari pekerjaan sampingan.
Penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkuat temuan ini, menunjukkan bahwa sebanyak 13,4% pekerja di perkotaan memiliki pekerjaan sampingan. Mereka tidak ragu untuk bekerja ganda di perusahaan lain atau melakukan “double shift” demi mencukupi kebutuhan hidup.
“Fenomena ini menegaskan bahwa pekerjaan utama mereka belum cukup untuk menutupi kebutuhan, sehingga menambah jam kerja menjadi strategi yang paling cepat dan realistis,” demikian kesimpulan riset LPEM UI, menggambarkan beratnya tekanan ekonomi yang dihadapi para pekerja di Indonesia.
Ringkasan
Fenomena “job hugging” muncul sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi, di mana pekerja memilih bertahan pada pekerjaan mereka demi stabilitas, alih-alih berpindah kerja seperti tren “job hopping” sebelumnya. Di Amerika Serikat, firma konsultan Korn Ferry melihat rendahnya angka pekerja yang mengundurkan diri sebagai indikasi fenomena ini, didorong oleh kekhawatiran akan sulitnya mencari pekerjaan yang lebih baik.
Di Indonesia, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan pasar tenaga kerja yang pesimistis dengan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) di bawah 100 poin. PHK meningkat, pengangguran sarjana melonjak, dan banyak pekerja beralih ke sektor informal. Stagnasi upah mendorong pekerja mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, menunjukkan tekanan ekonomi yang berat.