Sponsored

Populasi menua di situasi bencana

Dua pekan sudah bencana banjir dan longsor terjadi di tiga provinsi di Sumatera, tepatnya di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Korban jiwa maupun materi terus bertambah. Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Kamis, 9 Desember 2025, pukul 18.30, korban meninggal tercatat telah mencapai 964 jiwa, sebanyak 262 jiwa masih dinyatakan hilang, dan korban luka sebesar 5,000 orang. Tidak hanya memakan korban jiwa, banjir dan longsor juga menyebabkan kerusakan parah pada jalan, jembatan, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan rumah ibadah. Banyak wilayah yang menjadi sulit dijangkau karena akses menuju lokasi yang rusak parah dan masih dalam kondisi banjir. 

Sponsored

Dari sekian banyak korban jiwa, terluka maupun yang harus mengungsi, penduduk lanjut usia (lansia) menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak. Ini terlihat juga dalam bencana banjir dan longsor di Sumatera. Misalnya, di satu berita media daring Kompas pada 2 Desember 2025, disebutkan bahwa korban jiwa di Kota Medan mayoritas adalah lansia. Selain itu, terdapat tiga wisatawan Malaysia yang merupakan lansia ditemukan di Aceh dalam kondisi meninggal (sumsel.antaranews.com). Proses evakuasi yang masih berlangsung banyak didominasi oleh lansia selain dari anak-anak karena kesulitan untuk segera menghindar bencana banjir longsor. 

Karakteristik Lansia yang Rentan terhadap Bencana

Dalam situasi bencana, lansia memiliki memiliki keterbatasan baik secara fisik untuk dapat segera menghindar dari bencana yang datang tiba tiba. Seperti yang dinyatakan oleh Ehren B Ngo (2012), lansia memiliki kerentanan, baik secara fisik, ekonomi, dan sosial sehingga berakibat pada kerugian dan kesulitan yang lebih besar dalam pemulihan pasca bencana. Belum lagi terkait dengan kondisi psikologis lansia, mereka cenderung menunjukkan kesehatan mental yang lebih rentan dibandingkan dengan penduduk yang lebih muda (Rafiey dkk., 2016). 

Proses penuaan pada lansia berbanding lurus terhadap kekuatan fisik yang dimiliki. Studi oleh Samwel, Benson, dan Sebastian (2016) misalnya menyebutkan bahwa prevalensi dari tingkat kesakitan dan disabilitas meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Tulisan saya yang bertajuk “Learning from pandemic COVID-19 toward ageing societies in Indonesia: building of a resilience with an adaptive social protection” memperlihatkan bahwa angka kematian akibat kasus positif Covid-19 yang merupakan bencana kesehatan didominasi oleh kelompok lansia. Lebih lanjut, temuan dalam riset ini menunjukkan bahwa bertambahnya usia diikuti dengan penurunan kondisi fisik yang memengaruhi seseorang memiliki penyakit kronis dan mengakibatkan kondisi kesehatan lebih buruk ketika terjadi bencana. 

Baca juga:

  • Mensos Gus Ipul Apresiasi Influenser Galang Donasi Bencana Sumatra, tapi Izin
  • AHY Sebut Kebutuhan Anggaran Bencana di Sumatera di Atas Rp 50 Triliun
  • Mensos Usul Penerima MBG Diperluas untuk Lansia dan Difabel pada 2026

Organisasi Kesehatan Dunia-WHO (2008) menyebutkan bahwa faktor sosial ekonomi, seperti tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan memengaruhi status kesehatan. Oleh karena itu, melihat lansia tidak boleh hanya berfokus pada persoalan kesehatan semata, tetapi juga dampak status sosial ekonomi yang dapat meningkatkan kerentanan mereka, termasuk dalam situasi bencana. 

Upaya Pengurangan Risiko dan Kesiapsiagaan Bencana

Sebagai negara yang dikelilingi oleh bencana, pemerintah kita cenderung lebih mengedepankan proses tanggap bencana dibandingkan dengan kegiatan kesiapsiagaan, pengurangan risiko dan mitigasi yang berkelanjutan. Definisi pengurangan risiko bencana menurut United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR), yaitu segala upaya yang ditujukan untuk mencegah risiko bencana baru dan mengurangi risiko bencana yang sudah ada, serta mengelola risiko yang tersisa. Semua ini berkontribusi pada penguatan resiliensi penduduk dan tentunya pada pencapaian pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu, sudah semestinya pemerintah tidak hanya menunggu ketika bencana datang, namun juga bagaimana proses pencegahan, kesiapsiagaan dan mitigasi semakin digalakkan untuk mencegah korban jiwa dan kerugian yang lebih besar lagi. 

Pengurangan risiko bencana juga sejalan dengan kerangka kerja Sendai (Sendai Framework) 2015-2030. Empat bidang prioritas utama yang menjadi fokus, yaitu memahami risiko bencana, memperkuat tata kelola risiko bencana untuk manajemen bencana, investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk membangun resiliensi, dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif dan “build back better” dalam pemulihan, rehabilitasi, dan konstruksi. Keempat prioritas ini bertujuan untuk mencegah kerugian substansial yang lebih banyak lagi dalam hal korban jiwa, mata pencaharian, kesehatan, aset ekonomi, fisik, sosial, budaya, dan lingkungan dari individu, bisnis, komunitas, maupun negara. Tentunya tujuan tersebut menuntut komitmen yang kuat dan keterlibatan kepemimpinan politik di setiap negara di semua level implementasi.   

Praktik Kesiapsiagaan Bencana untuk Lansia

Hal pertama dari empat prioritas Sendai Framework yaitu pemahaman akan risiko bencana. Pemahaman akan risiko menjadi hal yang fundamental dalam pengurangan risiko bencana untuk memperkuat resiliensi. Memahami risiko bencana di suatu wilayah mencakup banyak hal, seperti kerentanan, kapasitas, aset, karakteristik bahaya, lingkungan, dan kondisi sosial demografi. Pengetahuan ini adalah basis untuk menilai risiko prabencana suatu wilayah, mitigasi serta pengembangan kesiapsiagaan yang tepat, responsif, dan efektif terhadap bencana. 

Belajar dari bencana-bencana yang terjadi di Indonesia, khususnya yang saat ini terjadi di Sumatera, Indonesia perlu lebih banyak lagi berinvestasi pada upaya pengurangan risiko bencana. Salah satunya dengan memahami kondisi sosial demografi di wilayah-wilayah rawan bencana, melihat korban terdampak bencana banyak diisi oleh lansia. Jika melihat data dari Badan Pusat Statistik tahun 2024 misalnya, Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara telah memasuki populasi menua karena memiliki persentase di angka 10% masing-masing sebesar 10,67% dan 10,16%. Persentase ini tentu saja memengaruhi tingkat kerentanan terhadap bencana di kedua provinsi tersebut dan kemungkinan korban jiwa yang lebih besar seperti yang terjadi saat ini. Ditambah lagi jika para lansia tinggal sendiri tanpa pasangan atau keluarga dan memiliki keterbatasan fisik.

Maka dari itu, ke depan menempatkan lansia ke dalam proses kesiapsiagaan bencana menjadi sangat penting. Pada situasi bencana, setiap individu perlu disiapkan. Membangun resiliensi penduduk terutama pada kelompok rentan seperti lansia menjadi sebuah keharusan. Mengingat Indonesia telah memasuki populasi menua. Di mana hasil proyeksi penduduk yang dikeluarkan oleh Bappenas, BPS, dan UNFPA menyebutkan bahwa 1 dari 5 penduduk Indonesia adalah lansia pada tahun 2045. Sementara banyak wilayah di Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap ancaman bencana. Penguatan resiliensi lansia terhadap bencana melalui strategi mitigasi yang berkelanjutan dan melibatkan lansia sebagai aktor adalah sebuah keniscayaan. Jika kita tidak segera melakukan aksi terhadap upaya pencegahan yang lebih masif dan berkelanjutan, korban jiwa pada lansia di masa yang akan datang tentunya akan jauh lebih besar. Ini berarti kita, Indonesia tidak pernah belajar dari pengalaman.

Sponsored