PT PP Tbk (PTPP), emiten konstruksi milik negara, bersama dengan dua entitas anak usahanya, PT PP Properti Tbk (PPRO) dan PT PP Presisi Tbk (PPRE), telah merilis laporan kinerja keuangan mereka hingga kuartal ketiga tahun 2025. Hasilnya menunjukkan gambaran yang kontras: sementara kedua anak perusahaan melaporkan perbaikan kinerja, laba bersih sang induk usaha justru mengalami penurunan yang signifikan.
Merujuk pada laporan keuangan tersebut, PTPP membukukan laba bersih yang mengejutkan, hanya sebesar Rp 5,55 miliar pada kuartal ketiga 2025. Angka ini menandai anjloknya laba bersih perseroan sebesar 97,92% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 267,28 miliar. Penurunan drastis laba ini sejalan dengan merosotnya pendapatan konsolidasi PTPP, dari Rp 14 triliun menjadi Rp 10,73 triliun.
Berbagai lini usaha menjadi penyumbang pendapatan PTPP, namun mayoritas di antaranya menunjukkan tren penurunan. Bisnis jasa konstruksi, yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan perusahaan, mengalami koreksi dari Rp 11,69 triliun menjadi Rp 8,83 triliun. Penurunan juga terlihat pada segmen EPC, dari Rp 1,33 triliun menjadi Rp 781,80 miliar. Meskipun demikian, tidak semua segmen tergerus; bisnis properti dan realti justru mengalami kenaikan dari Rp 503,6 miliar menjadi Rp 540,08 miliar, begitu pula dengan pendapatan keuangan atas konstruksi aset keuangan konsesi yang melesat dari Rp 116,9 miliar menjadi Rp 247,32 miliar. Namun, lini bisnis lain seperti persewaan peralatan (turun dari Rp 139,19 miliar menjadi Rp 38,10 miliar), pracetak (turun dari Rp 78,67 miliar menjadi Rp 10,20 miliar), energi (turun dari Rp 71,68 miliar menjadi Rp 41,65 miliar), dan jalan tol (turun dari Rp 58,12 miliar menjadi Rp 50,95 miliar) turut berkontribusi pada penurunan pendapatan. Satu-satunya segmen yang mencatat kenaikan sangat signifikan adalah jasa pertambangan, yang meroket dari Rp 10,80 miliar menjadi Rp 190,21 miliar.
Di tengah tekanan penurunan pendapatan, PTPP menunjukkan langkah mitigasi yang efektif dengan berhasil menekan beban pokok pendapatan. Angka tersebut berhasil diturunkan menjadi Rp 9,12 triliun pada kuartal ketiga 2025, jauh lebih rendah dibandingkan Rp 12,34 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Beranjak ke kinerja anak usaha, PT PP Properti Tbk (PPRO) menunjukkan angin segar dengan mencatatkan penurunan rugi bersih yang substansial. Kerugian bersih PPRO menyusut 94,85%, dari Rp 720,23 miliar menjadi hanya Rp 37,02 miliar hingga kuartal ketiga 2025. Capaian ini patut diapresiasi, mengingat pendapatan PPRO sendiri justru menurun dari Rp 287,81 miliar menjadi Rp 230,97 miliar. Keberhasilan menekan kerugian ini ditopang oleh kemampuan perusahaan dalam menurunkan beban pokok pendapatan, dari Rp 256,37 miliar menjadi Rp 223,89 miliar.
Kinerja positif juga ditorehkan oleh entitas anak PTPP lainnya, PT PP Presisi Tbk (PPRE). Perusahaan ini membukukan lonjakan laba bersih yang sangat impresif, mencapai 1.267%, dari Rp 7,68 miliar menjadi Rp 104,97 miliar hingga kuartal ketiga 2025. Peningkatan laba ini terjadi meskipun pertumbuhan pendapatan PPRE terbilang moderat, yakni hanya sebesar 2,21%, dari Rp 2,71 triliun menjadi Rp 2,77 triliun. Faktor kunci di balik laba yang melesat ini adalah efisiensi dalam pengelolaan beban pokok pendapatan, yang berhasil ditekan dari Rp 2,21 triliun menjadi Rp 2,19 triliun. Selain itu, PPRE juga mencatatkan peningkatan pendapatan lainnya secara signifikan, dari Rp 30,63 miliar pada tahun sebelumnya menjadi Rp 65,77 miliar.
Ringkasan
PT PP (PTPP), bersama anak usahanya PPRO dan PPRE, menunjukkan kinerja keuangan yang beragam di kuartal III 2025. PTPP mengalami penurunan laba bersih signifikan sebesar 97,92% menjadi Rp 5,55 miliar, seiring dengan penurunan pendapatan konsolidasi dari Rp 14 triliun menjadi Rp 10,73 triliun, meskipun beban pokok pendapatan berhasil ditekan.
Berbeda dengan PTPP, PPRO berhasil menekan rugi bersih hingga 94,85% menjadi Rp 37,02 miliar meskipun pendapatan menurun. Sementara itu, PPRE mencatatkan lonjakan laba bersih sebesar 1.267% menjadi Rp 104,97 miliar, didorong oleh efisiensi beban pokok pendapatan dan peningkatan pendapatan lainnya, meskipun pertumbuhan pendapatan hanya moderat.