Bayangkan sebuah desa kecil mendadak kaya raya karena penemuan tambang emas. Warga berbondong-bondong membeli mobil baru, motor baru, dan barang-barang mewah lainnya. Pesta meriah digelar di mana-mana. Namun, begitu tambang emas tersebut habis, kemakmuran itu lenyap secepat kilat. Mereka kembali hidup pas-pasan, bahkan terlilit hutang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kisah sederhana ini, lebih dari sekadar dongeng, mencerminkan dinamika ekonomi global yang kompleks dan seringkali paradoksal. Perdebatan mengenai fenomena ini berlangsung dari warung kopi hingga ruang kuliah di universitas-universitas ternama dunia.
Salah satu paradoks ekonomi yang paling terkenal adalah Paradox of Thrift, yang diungkap oleh John Maynard Keynes dalam magnum opus-nya, The General Theory of Employment, Interest and Money. Logikanya sederhana namun mengejutkan: jika semua orang serentak meningkatkan tabungan mereka, konsumsi akan menurun, permintaan barang dan jasa akan menyusut, dan pabrik-pabrik akan mengurangi produksi. Akibatnya, lapangan kerja berkurang, pendapatan masyarakat turun, dan pada akhirnya, total tabungan masyarakat pun ikut menyusut. Keynes memperingatkan bahwa etos kerja keras dan hemat, meskipun bertujuan positif, dapat menjadi bumerang jika dijalankan secara berlebihan dan masif. Ia menekankan bahwa ekonomi bukanlah sekadar angka dan uang, melainkan juga dipengaruhi oleh nilai-nilai, budaya, dan psikologi kolektif.
Kekhawatiran serupa mengenai stagnasi ekonomi juga dibahas oleh Sir Roy Harrod (1939) dan Evsey Domar (1946) melalui Harrod–Domar Growth Model. Model ini menjelaskan saving-investment gap, terutama di negara berkembang. Pada negara dengan pendapatan rendah, masyarakat hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar, sehingga ruang untuk menabung dan berinvestasi sangat terbatas. Hal ini menghambat likuiditas pembiayaan, pendapatan negara dari pajak menjadi kecil, sementara kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas umum, dan industrialisasi tetap besar. Inilah yang disebut investment-saving gap, di mana tabungan dan pendapatan masyarakat tidak cukup untuk membiayai investasi yang dibutuhkan.
Secara ideal, lembaga keuangan seharusnya menjembatani kesenjangan ini. Namun, realitanya lebih kompleks. Pihak dengan kelebihan tabungan seringkali memilih untuk menempatkan dananya di luar negeri karena dianggap lebih aman (rent-seeking dan risk-off), sementara masyarakat berpenghasilan rendah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan sering terjebak dalam utang konsumtif. Akibatnya, celah bagi investasi asing terbuka lebar, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kerentanan ekonomi suatu negara.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Juli 2025 menunjukkan total simpanan bank umum mencapai Rp9.334 triliun, turun tipis 0,5% secara bulanan. Namun, simpanan di tier Rp2–5 miliar justru tumbuh 1,1% secara bulanan. Pada bulan yang sama, Indonesia mengalami surplus perdagangan US$4,2 miliar, tetapi cadangan devisa justru berkurang US$0,2 miliar. Defisit fiskal domestik di akhir 2025 diproyeksikan meningkat menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp662 triliun, akibat belanja negara yang lebih besar daripada penerimaan.
Situasi ini mengingatkan kita pada beberapa teori ekonomi terkemuka. Nassim Nicholas Taleb (2007) memperkenalkan konsep black swan, yaitu peristiwa langka dan tak terduga yang berdampak besar, seperti arus keluar dana asing yang masif. Nouriel Roubini (2020), di sisi lain, berpendapat bahwa banyak krisis ekonomi bukanlah black swan, melainkan white swan—krisis yang sudah menunjukkan tanda-tanda peringatan, seperti melemahnya sektor manufaktur, tingginya utang, atau rapuhnya pasar tenaga kerja.
Di tingkat rumah tangga, Permanent Income Hypothesis oleh Milton Friedman (1957) menjelaskan bahwa konsumsi seseorang lebih bergantung pada pendapatan yang diperkirakan sepanjang hidupnya, bukan hanya pendapatan saat ini. Namun, jika pasar tenaga kerja melemah dan pendapatan tidak stabil, daya beli akan tertekan, dan konsumsi pokok menjadi prioritas utama. Pinjaman pun menjadi pilihan, meskipun dapat berujung pada kesulitan pembayaran, terutama jika kondisi pasar tenaga kerja memburuk.
Kondisi ini berdampak pada sektor perbankan. Meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loans) memaksa bank menaikkan suku bunga kredit, yang pada akhirnya meningkatkan biaya investasi dan biaya hidup. Lingkaran setan ekonomi pun terbentuk: daya beli menurun, tabungan menipis, dan investasi melemah.
Oleh karena itu, kondisi sektor manufaktur, lapangan kerja, pendapatan masyarakat, daya beli, inflasi, dan hubungan antara konsumsi-tabungan-investasi menjadi perhatian utama otoritas ekonomi. Finn E. Kydland dan Edward C. Prescott (1977) menjelaskan time consistency problem, yaitu ketika pemerintah atau bank sentral menyimpang dari tujuan awal, kepercayaan publik akan hilang, dan ekspektasi inflasi menjadi tak terkendali. Oleh karena itu, kebijakan berbasis aturan (rules-based policy), seperti inflation targeting, dan independensi bank sentral sangat penting. Milton Friedman (1960) bahkan menekankan pentingnya kebijakan berbasis aturan yang konsisten dan tidak mudah berubah (discretion) untuk menghindari intervensi politik jangka pendek.
Kesimpulannya, ekonomi bukan hanya sekadar angka, tetapi juga soal kepercayaan, etika, dan empati. Tabungan dan konsumsi, investasi dan pertumbuhan, saling terkait erat. Ada keluarga yang berjuang menabung di tengah inflasi, ada pemilik modal yang mencari peluang di luar negeri, dan ada negara yang berupaya menjaga stabilitas ekonomi di tengah godaan untuk menyimpang dari kebijakan yang konsisten.
Baca juga:
- Survei BI: Warga RI Makin Pesimis Soal Pekerjaan, Tabungan Habis untuk Konsumsi
- Survei KIC: Kelas Menengah Bertahan dari Makan Tabungan dan Kerja Sampingan
- Kerusuhan Ancam Ekonomi dan Investasi, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat
Ringkasan
Ringkasan ekonomi global menunjukkan paradoks antara tabungan dan konsumsi. Meningkatkan tabungan secara bersamaan dapat mengurangi konsumsi dan investasi, berujung pada penurunan pendapatan dan tabungan keseluruhan, seperti yang dijelaskan oleh Paradox of Thrift. Model Harrod–Domar juga menunjukan kesenjangan tabungan dan investasi di negara berkembang, yang dapat diperparah oleh penempatan dana luar negeri dan kesulitan akses kredit bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Data ekonomi terkini menunjukkan penurunan total simpanan bank, meski ada pertumbuhan di segmen tertentu. Defisit fiskal meningkat, mengingatkan pada teori black swan dan white swan. Permanent Income Hypothesis menjelaskan bahwa konsumsi bergantung pada pendapatan seumur hidup, sehingga ketidakstabilan pendapatan menekan daya beli. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang konsisten dan berbasis aturan, serta menjaga kepercayaan publik, sangat krusial untuk stabilitas ekonomi.