Sponsored

Selisih BI Rate dan LPS Rate: Bahaya Matahari Kembar di Sektor Keuangan

Jakarta – Kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk memangkas Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) simpanan rupiah bagi bank umum menjadi 3,75% telah memicu perdebatan penting dalam lanskap moneter Indonesia. Penurunan ini sejalan dengan langkah Bank Indonesia (BI) yang sebelumnya telah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) ke level 5%. Namun, kekhawatiran muncul akibat selisih yang semakin melebar antara kedua instrumen suku bunga ini, memicu peringatan akan potensi munculnya “matahari kembar” dalam sistem keuangan nasional.

Sponsored

Menurut pengamat perbankan dari Binus University, Doddy Ariefianto, Bank Indonesia tetap memegang peran sentral sebagai “pusat gravitasi” yang mengendalikan dinamika suku bunga di perekonomian. Ia menjelaskan bahwa Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) oleh LPS hanyalah “orbit tambahan” atau bersifat sekunder. “Yang primer tetap BI Rate. Begitu BI Rate turun, dalam satu hingga tiga bulan bunga dana pihak ketiga (DPK) akan ikut turun. TBP hanya sekunder,” tegas Doddy kepada Bisnis pada Rabu (27/8).

Doddy lebih lanjut menyoroti pelebaran jurang antara BI Rate dan TBP yang kini mencapai 1,25%, menjadikannya salah satu selisih terbesar dalam sejarah. Ia memperingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, bukan hanya stabilitas yang terancam, tetapi juga berpotensi menciptakan distorsi serius di pasar keuangan. “Seharusnya sejalan, jangan sampai kesenjangan terlalu lebar dan jangan sampai ada matahari kembar. Di mana pun, bank sentral adalah satu-satunya yang berhak mengarahkan suku bunga ekonomi,” ujarnya.

Meskipun TBP bersifat mengikat sebagai batas penjaminan simpanan masyarakat, Doddy menekankan bahwa pergerakan suku bunga simpanan bank lebih dominan ditentukan oleh denyut BI Rate. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa LPS seharusnya “mengikuti” atau follow, bukan “memimpin” langkah Bank Indonesia. “LPS mestinya follow, bukan memimpin BI Rate,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa selisih yang wajar antara TBP dan BI Rate adalah saat TBP berada 0,5% hingga 1% di atas BI Rate. Ini beralasan karena suku bunga deposito bank pada praktiknya memang lebih tinggi dibandingkan suku bunga acuan pasar uang yang nyaris tanpa risiko. “BI Rate itu acuan money market yang risk free. TBP dihitung dari bunga simpanan bank, dan special rate deposito biasanya 0,5% sampai dengan 1% lebih tinggi. Jadi, selisih sejumlah itu masih normal,” jelasnya.

Sebagai informasi, LPS baru-baru ini memangkas bunga penjaminan simpanan rupiah sebesar 25 basis poin (bps), menjadikannya 3,75% untuk bank umum dan 6,25% untuk BPR. Di sisi lain, Bank Indonesia menahan suku bunga acuannya (BI Rate) pada level 5%. Berdasarkan perhitungan, saat ini terdapat selisih 125 basis poin antara BI Rate dan TBP untuk bank umum, di mana TBP 3,75% lebih rendah 1,25 poin dibandingkan BI Rate 5%. Sementara itu, untuk BPR, TBP 6,25% justru lebih tinggi 1,25 poin dari BI Rate.

Menanggapi pandangan tersebut, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menepis anggapan adanya “saling kunci” dalam kebijakan suku bunga antara kedua lembaga. Ia menegaskan bahwa hubungan antara LPS dan Bank Indonesia justru laksana tarian yang saling menguatkan, bukan duel yang saling meniadakan.

“Tidak saling mengunci, malah saling mendukung. Kalau BI menurunkan BI Rate lalu LPS menaikkan, baru kita berantem. Tapi kalau BI menurunkan, kami juga menurunkan,” jelas Purbaya pada Selasa (26/8/2025). Ia menambahkan bahwa pemangkasan bunga penjaminan oleh LPS dilakukan dengan mempertimbangkan tren penurunan suku bunga simpanan di masa depan, sekaligus sebagai langkah antisipatif guna memperkuat kinerja perekonomian nasional. “Kami juga ingin menegaskan sinyal sinergi kebijakan dengan otoritas lain,” tambahnya.

Di samping itu, Purbaya memaparkan beberapa faktor lain yang menjadi dasar pertimbangan LPS dalam mengambil kebijakan ini, termasuk upaya mendorong suku bunga kredit yang lebih kompetitif, proyeksi likuiditas perbankan yang masih longgar, adanya ruang bagi bank untuk mengelola suku bunga simpanan, serta tingkat cakupan penjaminan yang dinilai masih memadai. Menariknya, Purbaya juga tidak menutup kemungkinan adanya pemangkasan lanjutan terhadap suku bunga penjaminan di masa mendatang. Ia mengingatkan bahwa pada masa pandemi Covid-19, suku bunga penjaminan pernah mencapai titik terendah 3,5%.

“Bisa saja kita ke sana lagi. Bahkan sampai 3% juga bisa, tetapi tentu kita lihat dulu kondisi ekonomi, arah kebijakan BI, dan situasi global,” ujarnya. Purbaya turut menekankan pentingnya sinergi, mengingat adanya anggota Dewan Komisioner ex-officio dari BI di LPS, yang berarti ia tidak dapat bertindak sendirian. Mengenai pandangan bahwa bank masih kesulitan menurunkan bunga simpanan di tengah penurunan bunga acuan, Purbaya justru berpendapat bahwa keputusan LPS ini sejatinya dapat meringankan beban perbankan.

“Ini membantu mereka untuk tidak berebut dana terlalu tinggi. Karena masyarakat tahu kalau bunga simpanan terlalu tinggi, itu di atas batas penjaminan LPS dan tidak dijamin. Jadi secara tidak langsung, kami membantu bank menurunkan cost of capital,” jelas Purbaya.

Melihat data historis, tercatat bahwa selama Januari 2019 hingga Juli 2021, Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) LPS untuk simpanan rupiah di bank umum konsisten berada di atas BI Rate, dengan selisih antara 50 hingga 125 basis poin (bps). Kemudian, pada periode September 2021 hingga Mei 2022, kedua suku bunga tersebut bergerak pada level yang sama, yaitu 3,50%. Perubahan signifikan terjadi mulai kuartal IV/2022 atau Oktober, ketika TBP LPS mulai berada di bawah BI Rate. Saat itu, TBP simpanan rupiah bank umum sebesar 3,75% berbanding bunga acuan 4,75%, menciptakan perbedaan 100 bps. Tren TBP LPS yang selalu di bawah BI Rate berlanjut hingga saat ini, mencapai perbedaan terbesar 200 bps pada April hingga Agustus 2024, dengan bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum 4,25% dan suku bunga acuan 6,25%.

Dari perspektif Bank Indonesia, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menegaskan bahwa BI tidak menginginkan adanya perbedaan suku bunga acuan antarlembaga yang justru bersifat “saling kunci”. Isu mengenai perbedaan suku bunga, termasuk kaitannya dengan bunga penjaminan LPS, telah menjadi topik pembahasan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). “Tentu dalam konteks itu kami [Bank Indonesia] tidak menginginkan bahwa adanya beberapa suku bunga yang dimiliki masing-masing otoritas dalam menjalankan tugasnya itu bisa sifatnya saling kunci-mengunci dalam kita menurunkan suku bunga,” kata Erwin pada acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).

Fokus utama BI saat ini, menurut Erwin, adalah menjaga stabilitas. Selain itu, BI juga berupaya memastikan transmisi penurunan suku bunga acuan benar-benar terealisasi pada penurunan suku bunga kredit, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan kredit dan menopang pemulihan ekonomi.

Menyikapi pertanyaan mengenai apakah perbedaan antara suku bunga acuan BI (yang saat ini 5%) dengan bunga penjaminan LPS (yang berada di bawahnya) turut menjadi faktor penahan bagi bank untuk menurunkan bunga deposito, Erwin menjelaskan bahwa BI secara berkala melakukan asesmen terhadap ruang penurunan suku bunga. Asesmen ini mempertimbangkan kondisi global maupun domestik, dengan fokus utama pada menjaga stabilitas. “Bank Indonesia dari waktu ke waktu, melihat perkembangan yang ada di global maupun domestik, tentu yang dilihat Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas, setelah stabilitas bisa kami jaga, kami melihat ruang penurunan suku bunganya,” imbuh Erwin, menegaskan bahwa kebijakan suku bunga BI tetap independen. Diskusi dengan LPS terus dilakukan guna memastikan suku bunga antar-otoritas dapat saling mendukung dan tidak menimbulkan hambatan dalam transmisi kebijakan moneter.

Sementara itu, Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, berpendapat bahwa kesenjangan antara BI Rate dan TBP dapat berdampak pada perilaku deposan dan memunculkan risiko sistemik. “Apabila bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, maka simpanan nasabah bisa tidak dijamin. Ini membuat nasabah cenderung memindahkan dana ke bank besar yang dianggap lebih aman,” ungkap Trioksa.

Lebih lanjut, Trioksa menjelaskan bahwa suku bunga simpanan yang tinggi akan mendorong bank untuk menetapkan suku bunga kredit yang juga tinggi, berpotensi meningkatkan risiko kredit secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, Trioksa menilai idealnya Tingkat Bunga Penjaminan tidak berbeda jauh dari BI Rate, atau bahkan berada pada level yang sama. “Dengan begitu, bank tetap punya ruang kompetitif tanpa meningkatkan risiko yang berlebihan,” pungkasnya.

Ringkasan

Selisih antara BI Rate (5%) dan LPS Rate (3,75% untuk bank umum) mencapai 1,25%, menjadi salah satu yang terbesar secara historis. Para pengamat memperingatkan potensi distorsi pasar keuangan jika kesenjangan ini berlanjut, mengingat BI Rate seharusnya menjadi acuan utama suku bunga, sementara LPS Rate sebaiknya mengikuti, idealnya hanya 0,5% hingga 1% di atas BI Rate.

Meskipun LPS berpendapat kebijakannya sinergis dengan BI dan bertujuan mendorong suku bunga kredit yang lebih kompetitif, beberapa pihak khawatir perbedaan ini dapat mempengaruhi perilaku deposan dan meningkatkan risiko sistemik. BI sendiri menegaskan fokusnya pada stabilitas dan transmisi penurunan suku bunga acuan ke suku bunga kredit, serta terus berdiskusi dengan LPS untuk memastikan keselarasan kebijakan suku bunga.

Sponsored