Sponsored

Krisis kemanusiaan meluas, Kamboja tawarkan langkah awal dialog dengan Thailand

Konflik perbatasan yang memanas antara Kamboja dan Thailand telah mendorong Phnom Penh untuk secara proaktif menyatakan kesediaan mendesak dalam mengadakan pembicaraan bilateral. Inisiatif ini bertujuan untuk segera meredakan ketegangan dan menghentikan bentrokan bersenjata yang terus berkecamuk di wilayah sengketa. Suos Yara, penasihat senior Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, menegaskan kesiapan negaranya untuk membuka dialog dengan Thailand.

Sponsored

“Misalnya, satu jam dari sekarang, kedua belah pihak sepakat untuk duduk bersama dan mulai berkomunikasi. Ini akan menjadi langkah yang sangat baik,” ujar Suos Yara, dikutip dari Reuters pada Selasa (9/12), menekankan urgensi penyelesaian. Namun, Kamboja menekankan bahwa proses dialog untuk menyelesaikan konflik perbatasan ini tidak dapat dimulai secara sepihak.

Menurut Yara, langkah menuju perdamaian harus didasari oleh niat baik yang disepakati bersama oleh kedua negara. “Kami harus mendapatkan niat baik yang disepakati bersama oleh kedua pihak,” tegasnya, menyoroti prinsip resiprokal yang krusial dalam upaya membangun kembali stabilitas di perbatasan.

Di sisi lain, Bangkok menyuarakan pandangan yang berbeda terkait prakarsa ini. Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, dalam wawancara terpisah dengan Reuters pada Selasa (10/12), menyampaikan bahwa Kamboja perlu menunjukkan ketulusan dan mengambil langkah pertama yang konkret untuk meredakan ketegangan di perbatasan.

Ia juga menegaskan bahwa upaya penyelesaian konflik Kamboja-Thailand ini harus dicapai melalui jalur bilateral secara eksklusif, tanpa adanya campur tangan atau mediasi dari pihak ketiga. Hingga saat ini, baik Thailand maupun Kamboja masih saling menyalahkan atas pecahnya kembali bentrokan bersenjata di wilayah sengketa perbatasan kedua negara, memperumit jalan menuju perdamaian.

Gelombang eskalasi ini sekaligus secara tragis menggugurkan kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Perjanjian tersebut dicapai di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 26 Oktober lalu. Laporan sementara mengungkapkan dampak memilukan, di mana sedikitnya 13 orang tewas dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi dari rumah mereka.

Ratusan Ribu Warga Mengungsi

Kantor Berita Pemerintah Agence Kampuchea Presse pada Selasa (9/12) melaporkan bahwa Kementerian Pertahanan Kamboja mencatat angka pengungsian sipil yang mengkhawatirkan akibat serangan militer Thailand. Sebanyak 16.598 keluarga, atau setara dengan 54.550 jiwa, terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. Selain itu, laporan awal juga mencatat tujuh warga sipil tewas dan 20 lainnya mengalami luka-luka akibat konflik perbatasan ini.

Data korban jiwa dan luka-luka tersebar di beberapa provinsi yang terdampak parah. Provinsi Oddar Meanchey mencatat tiga kematian dan delapan luka-luka; Banteay Meanchey melaporkan satu kematian dan dua luka-luka; sementara Preah Vihear mencatat tiga kematian dan sepuluh luka-luka. Angka-angka ini menggambarkan betapa luasnya dampak kekerasan di wilayah sengketa tersebut.

Konsentrasi pengungsi tersebar di berbagai wilayah Kamboja, dengan jumlah signifikan yang mencari perlindungan. Sekitar 12.996 orang kini berada di Provinsi Oddar Meanchey, 13.056 warga di Provinsi Preah Vihear, dan 13.686 jiwa di Provinsi Banteay Meanchey. Selain itu, 3.736 orang mengungsi ke Provinsi Pursat, dan 11.076 lainnya mencari aman di Provinsi Siem Reap, menunjukkan skala krisis kemanusiaan yang mendalam.

Kementerian Pertahanan Kamboja menuduh Thailand telah melancarkan serangkaian serangan udara sejak 7 Desember. Kamboja secara spesifik menyebut bahwa militer Thailand telah memperbarui agresi di wilayahnya dan memperluas jangkauannya ke berbagai lokasi. Ini termasuk Provinsi Preah Vihear, Banteay Meanchey, Oddar Meanchey, Battambang, dan Pursat, yang melibatkan penggunaan senjata berat, jet tempur F-16, dan bahkan tuduhan penggunaan gas beracun.

Tidak tinggal diam, militer Thailand juga melaporkan adanya gelombang serangan militer yang dilancarkan oleh pasukan Kamboja pada 9 Desember. Thailand mengklaim Kamboja menggunakan roket peluncur ganda BM-21, drone pembawa bom, serta drone kamikaze di sejumlah sektor penting, termasuk Chong Bok, Kuil Ta Khwai, dan Kuil Kana.

Kantor Berita Pemerintah National News Bureau of Thailand lebih lanjut melaporkan bahwa pertempuran paling hebat tercatat di Phu Ma Khuea dan Kuil Ta Muen Thom. Lokasi-lokasi ini diduga menjadi titik di mana pasukan Kamboja berupaya merebut kembali wilayah tersebut. Tragisnya, dampak tembakan roket BM-21 juga dilaporkan mengenai area pemukiman warga, menambah daftar panjang penderitaan masyarakat sipil yang terperangkap dalam konflik.

Di tengah kondisi yang memburuk, dukungan evakuasi terus diintensifkan di seluruh wilayah yang terkena dampak. Otoritas setempat telah sigap mendirikan 492 tempat penampungan sementara di empat provinsi, yang saat ini menampung total 125.838 warga sipil. Rinciannya mencakup 22.580 pengungsi di Ubon Ratchathani, 45.914 orang di Sisaket, dan 51.781 di Surin, menandai upaya besar dalam mitigasi krisis kemanusiaan ini.

Lebih lanjut, 5.563 pengungsi lainnya tersebar di Buri Ram. Selain itu, 75 titik evakuasi tambahan telah diaktifkan untuk melayani 3.123 warga yang termasuk dalam kategori rentan, seperti lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas, memastikan mereka mendapatkan perhatian dan perlindungan yang layak di tengah ketidakpastian konflik.

Sponsored