Sponsored

Defisit Pajak Rp781,9 T: Strategi Jitu Kemenkeu Atasi Target?

Babaumma – , JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penerimaan pajak tahun 2025. Hingga akhir September 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp1.295,3 triliun, atau setara 62,4% dari outlook tahunan yang ditetapkan sebesar Rp2.076,9 triliun. Ini berarti, Kemenkeu harus mengumpulkan Rp781,9 triliun dalam tiga bulan terakhir tahun ini untuk memenuhi target tersebut.

Sponsored

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu, Yon Arsal, menyatakan optimismenya meskipun jumlah yang harus dikejar cukup signifikan. Menurutnya, periode Oktober hingga Desember secara historis selalu menjadi masa di mana penerimaan pajak mencapai puncaknya. Pola serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, menandakan periode ini krusial untuk realisasi hasil pengawasan yang telah dilakukan sejak awal tahun.

Yon mencontohkan, pada tahun 2024, penerimaan pajak dari Januari hingga September berkisar Rp140–150 triliun per bulan. Angka ini melonjak tajam menjadi Rp162 triliun pada Oktober, Rp170 triliun pada November, dan mencapai Rp240 triliun pada Desember. “Selama tiga bulan terakhir (Q4), sekitar Rp550–560 triliun dikumpulkan atau sekitar 30% dari total penerimaan tahunan,” jelas Yon dalam sebuah media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Tren penerimaan pajak tahun ini, lanjut Yon, menunjukkan sinyal pemulihan. Meskipun penerimaan pajak netto masih mencatat kontraksi, tekanan tersebut mulai menipis. Ia berkaca pada tahun sebelumnya di mana posisi penerimaan pajak netto baru kembali positif pada November, menunjukkan adanya ruang bagi pemulihan di sisa tahun ini.

Untuk mengejar target yang tersisa, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akan mengintensifkan beberapa langkah strategis. Pertama, pengawasan pembayaran masa akan ditingkatkan dengan menyesuaikan besaran pajak berdasarkan kinerja sektor usaha. Sektor yang mengalami pertumbuhan akan dioptimalkan pajaknya, sementara sektor yang menurun akan diberikan kelonggaran. Kedua, Ditjen Pajak akan memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui kegiatan pemeriksaan, penegakan hukum, dan penagihan aktif. Yon menegaskan bahwa semua langkah ini merupakan kelanjutan dari proses pengawasan yang telah berjalan sejak awal tahun. “Mudah-mudahan kita masih tetap optimis bahwa target yang dibebankan itu masih bisa kita realisasikan,” tutupnya penuh harap.

Potensi Pelebaran Shortfall Pajak

Di sisi lain, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan risiko fiskal yang kian meningkat seiring melemahnya kinerja penerimaan pajak. Fajry menilai kebijakan perpajakan yang dijalankan oleh pemerintahan baru belum menunjukkan arah yang jelas. Ia menyebut, Presiden Prabowo Subianto mewarisi kondisi ‘mati gaya’ dari akhir pemerintahan sebelumnya, yang ditandai dengan pembatalan sejumlah kebijakan fiskal vital, termasuk rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

“Tidak ada yang salah dengan keputusan membatalkan kebijakan. Itu bentuk pemerintah mendengar aspirasi publik. Namun, ketika potensi penerimaan turun, belanja negara semestinya ikut disesuaikan,” tegas Fajry kepada Bisnis, Minggu (19/10/2025).

Fajry menekankan bahwa ketidakseimbangan antara penerimaan dan belanja negara berpotensi memperlebar defisit fiskal. Kondisi ini dapat meningkatkan persepsi risiko fiskal di mata investor, seperti yang terbukti ketika investor asing menarik kepemilikan surat utang pemerintah pada September lalu, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah. Ia juga mengingatkan agar pemerintah belajar dari kesalahan kebijakan fiskal sembrono yang dilakukan mantan Perdana Menteri Inggris, Elizabeth Truss, yang gagal menjaga keseimbangan antara pemotongan pajak dan pengeluaran negara, berujung pada anjloknya nilai tukar poundsterling dan kenaikan inflasi.

Mengkhawatirkan, Fajry memproyeksikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menghadapi risiko shortfall pajak yang signifikan. Jika kinerja penerimaan pajak hanya setara dengan capaian beberapa bulan terakhir, realisasi penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai 82,22% dari outlook sepanjang tahun, yang berarti potensi shortfall sekitar Rp389,26 triliun. “Sekalipun ada extra effort seperti tahun lalu, penerimaan pajak hanya akan mencapai 85%–88%. Sangat sulit untuk mencapai outlook APBN yang ditetapkan 94%,” pungkas Fajry.

Ringkasan

Kementerian Keuangan menghadapi tantangan untuk mencapai target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.076,9 triliun, dengan defisit mencapai Rp781,9 triliun hingga September. Staf Ahli Kemenkeu, Yon Arsal, optimis target tercapai mengingat periode Oktober-Desember secara historis menjadi puncak penerimaan pajak, dan Ditjen Pajak akan mengintensifkan pengawasan pembayaran masa dan kepatuhan material.

Kepala Riset CITA, Fajry Akbar, memperingatkan risiko fiskal akibat melemahnya penerimaan pajak dan belum jelasnya arah kebijakan perpajakan pemerintah baru. Fajry menekankan pentingnya keseimbangan antara penerimaan dan belanja negara untuk menghindari pelebaran defisit fiskal dan menjaga kepercayaan investor, serta memproyeksikan potensi shortfall pajak yang signifikan pada APBN 2025.

Sponsored