
Ada masa ketika mengingat nomor telepon orang terdekat adalah kebiasaan lumrah, sebuah rutinitas kognitif yang melatih pikiran untuk mengingat, mengulang, dan menyimpan informasi penting. Namun, seiring berjalannya waktu dan pesatnya kemajuan teknologi, tugas mengingat yang fundamental ini perlahan kita serahkan sepenuhnya kepada gawai dan aplikasi digital.
Pergeseran kebiasaan ini, yang mungkin terlihat sepele, sesungguhnya menandai bagaimana teknologi secara perlahan namun pasti mulai mengambil alih sebagian dari proses berpikir kita. Dari kalkulator yang kini menggantikan perhitungan manual yang rumit hingga aplikasi navigasi yang meniadakan kebutuhan untuk menghafal rute jalan, setiap inovasi dirancang untuk mempermudah hidup. Namun, kemudahan ini juga secara tidak langsung mengikis kemampuan alami kita dalam belajar dan memecahkan masalah, mengubah inti dari bagaimana kita berinteraksi dengan informasi.
Kini, kita berada di ambang revolusi besar lainnya: Kecerdasan Buatan (AI). Sebagai lompatan teknologi raksasa, AI membawa potensi transformatif, khususnya di bidang pendidikan, dengan kemampuannya memproses informasi dalam hitungan detik. Ia membuka pintu menuju peluang pembelajaran yang tak terbatas. Namun, di balik janji kemudahan itu tersimpan sebuah risiko krusial: tanpa bimbingan yang memadai, siswa dapat terjebak dalam pasivitas. Mereka mungkin cepat mendapatkan jawaban, namun justru kehilangan kemampuan esensial dalam penalaran. Inilah mengapa pendidikan memiliki peran yang sangat vital; bukan sekadar mengajarkan tentang teknologi, melainkan membentuk responsible learners—pembelajar yang bertanggung jawab—yang memahami ‘cara berpikir,’ bukan sekadar ‘apa yang harus dipikirkan.’
Prinsip fundamental ini telah lama menjadi pilar utama dalam kurikulum International Baccalaureate (IB), yang selalu menegaskan bahwa pendidikan haruslah berpusat pada siswa (student-centered) dan berpusat pada manusia (human-centered). Dalam filosofi ini, siswa tidak hanya dibekali dengan kemampuan teknis untuk menguasai alat, melainkan juga dibimbing untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, serta kesadaran akan nilai dan etika. Kurikulum IB memandang teknologi, termasuk AI, sebagai sarana yang memperkaya pengalaman pembelajaran, bukan sebagai substitusi atas peran vital manusia dalam proses mendidik dan belajar.
Baca juga:
- Menggugat Tujuan Pendidikan
- Jakarta Bangun Sistem Air Limbah Modern, Kurangi Risiko Penyakit Berbasis Air
- Belajar dari Nepal: Ketimpangan sebagai Akar Masalah
Di Sekolah Ciputra Surabaya, tempat saya mengajar dan mengemban amanah sebagai Information and Communication Technology (ICT) Coordinator, prinsip-prinsip ini kami terapkan secara konkret. Selama dua tahun terakhir, kami telah memulai integrasi AI ke dalam ruang kelas melalui pendekatan yang bertahap dan terstruktur. Dimulai dengan pengenalan dasar di tingkat awal, dilanjutkan dengan pengembangan literasi AI yang lebih mendalam di kelas 5 dan 6, hingga penguasaan keterampilan canggih di jenjang menengah. Setiap tahap pembelajaran selalu dikaitkan erat dengan pemahaman tentang nilai, etika penggunaan AI, serta pengembangan keterampilan sosial-emosional. Tujuannya adalah memastikan siswa tidak hanya memahami mekanisme kerja AI, tetapi juga menyadari dampak signifikannya bagi diri mereka dan masyarakat luas.
Sejalan dengan semangat global, arah kebijakan pendidikan di Indonesia juga telah menunjukkan penekanan yang kuat pada pentingnya literasi digital dan penguasaan keterampilan abad ke-21. Kementerian Pendidikan baru-baru ini secara tegas menyatakan bahwa integrasi teknologi, termasuk AI, ke dalam kurikulum adalah strategi kunci untuk mempersiapkan ‘generasi emas 2045’. Kondisi ini secara implisit menyoroti peran sekolah dan guru yang semakin krusial; bukan sekadar mentransfer pengetahuan teknis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur dan pola pikir kritis yang selaras dengan visi pembangunan bangsa.
Dalam pandangan saya pribadi, AI sama sekali tidak boleh menggantikan esensi peran guru maupun siswa dalam proses pendidikan. Sebaliknya, teknologi ini harus difungsikan untuk memberdayakan manusia, menambah nilai, dan memperkuat kapasitas kita, bukan untuk mengambil alih sepenuhnya. Mengajar, lebih dari sekadar profesi, adalah pekerjaan hati yang melibatkan intuisi, empati, dan kreativitas—kualitas-kualitas yang hingga kini belum mampu ditiru mesin. Oleh karena itu, AI di ruang kelas harus secara konsisten diposisikan sebagai alat pendukung pembelajaran yang mengedepankan pendekatan student-centered dan human-centered.
Integrasi AI di sekolah juga tidak dapat berdiri sendiri; ia membutuhkan sinergi dan kolaborasi. Keterlibatan orang tua sejak dini menjadi esensial untuk membangun pemahaman yang selaras dengan visi guru dan sekolah. Sebuah riset dari Parents.com (2024) secara jelas menunjukkan bahwa partisipasi aktif orang tua dalam literasi digital anak berkorelasi dengan penggunaan teknologi yang lebih aman, sehat, dan kondusif bagi kesejahteraan siswa. Bahkan dalam situasi di mana akses teknologi terbatas, penanaman nilai dan etika tetap dapat diajarkan di rumah, menanamkan pemahaman bahwa AI adalah semata-mata alat bantu, bukan pengganti penalaran dan tanggung jawab pribadi.
Dari pengalaman konkret kami di ruang kelas, siswa yang diperkenalkan pada AI melalui pendekatan yang menekankan nilai dan etika menunjukkan transformasi signifikan dalam cara mereka belajar. Mereka tumbuh menjadi lebih percaya diri dalam memanfaatkan teknologi, sekaligus menunjukkan kehati-hatian ekstra dalam memverifikasi informasi, aktif berdiskusi dengan teman sebaya, dan lebih bertanggung jawab atas hasil pekerjaan mereka. Perubahan-perubahan fundamental ini secara tegas menunjukkan bahwa pendidikan holistik memiliki kapasitas nyata untuk membentuk responsible learners yang matang dan siap menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Tantangan yang muncul dari integrasi AI ini bukan hanya fenomena lokal, melainkan persoalan global. Sebuah studi dari Swiss Business School yang dipublikasikan di Phys.org (2025) mengungkapkan data yang mengkhawatirkan: penggunaan AI tanpa fondasi pendidikan berbasis nilai dapat secara drastis menurunkan keterampilan penalaran dan kreativitas. Fenomena ini, yang dikenal sebagai cognitive offloading, terjadi ketika siswa semakin mengandalkan mesin untuk proses berpikir, alih-alih mengasah kemampuan kognitif mereka sendiri. Realitas ini semakin diperkuat oleh survei Tirto.id dan Jakpat (Mei 2024) yang menunjukkan bahwa 86,21% siswa berusia 15-21 di Indonesia telah menggunakan AI setidaknya sekali sebulan untuk membantu menyelesaikan tugas sekolah atau kuliah.
Data-data tersebut secara gamblang memperlihatkan betapa meluasnya penggunaan AI di kalangan generasi muda kita. Oleh karena itu, pendampingan yang kokoh dan berfokus pada nilai serta etika menjadi sangat krusial. Tujuannya adalah memastikan teknologi ini sungguh-sungguh memperkuat proses pembelajaran, bukan sekadar menjadi jalan pintas untuk mempermudah tugas. Jika tren ini dibiarkan tanpa arahan yang tepat, kita menghadapi risiko serius untuk menciptakan generasi yang memang canggih secara teknologi, namun justru rapuh dalam penalaran dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks inilah, kurikulum IB kembali menunjukkan relevansinya yang mendalam. Sejak awal, IB telah menekankan bahwa pendidikan harus mengajarkan siswa ‘how to think, not what to think‘—bagaimana berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Dengan pendekatan berbasis inkuiri, integrasi lintas disiplin, serta penekanan kuat pada etika dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab (responsible use), IB menawarkan model nyata tentang bagaimana AI dapat diintegrasikan sebagai bagian integral dari pembelajaran yang holistik. Pendekatan ini tidak hanya menghasilkan siswa yang mahir secara teknis, tetapi juga membentuk pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang kritis, berempati, dan siap menjadi pemimpin masa depan.
Namun, upaya fundamental ini tidak dapat diemban oleh sekolah sendirian. Diperlukan kolaborasi yang lebih luas dan sinergis antara sekolah, orang tua, pemerintah, serta seluruh komunitas di dunia pendidikan untuk memastikan bahwa integrasi AI benar-benar membawa manfaat maksimal. Dengan menjadikan nilai-nilai luhur, etika, dan kemanusiaan sebagai inti dari setiap proses, kita dapat memastikan bahwa teknologi tidak justru menjauhkan anak-anak dari proses belajar yang bermakna. Sebaliknya, AI akan memperkaya perjalanan mereka menjadi generasi yang kritis, kreatif, dan berdaya saing global.
Kemajuan teknologi, khususnya AI, adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Kita tidak dapat menahan lajunya, namun kita memiliki kekuatan untuk mengarahkan bagaimana generasi muda kita menggunakannya. Mari kita bersama memastikan bahwa anak-anak Indonesia tidak hanya tumbuh menjadi pengguna AI yang cepat dan mahir, tetapi yang terpenting, menjadi individu yang mampu berpikir kritis, menjunjung tinggi etika, dan siap menghadapi berbagai tantangan global dengan ketajaman akal budi serta kehangatan hati.
Ringkasan
Artikel ini membahas tentang bagaimana teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), memengaruhi cara berpikir dan belajar. Kemajuan AI menawarkan peluang pembelajaran tak terbatas, namun juga berpotensi membuat siswa pasif dan kehilangan kemampuan penalaran jika tidak dibimbing dengan benar. Pendidikan memiliki peran penting untuk membentuk pembelajar yang bertanggung jawab (responsible learners) yang memahami ‘cara berpikir,’ bukan sekadar ‘apa yang harus dipikirkan’.
Kurikulum International Baccalaureate (IB) menekankan pendidikan yang berpusat pada siswa (student-centered) dan manusia (human-centered), membekali siswa dengan kemampuan teknis serta keterampilan berpikir kritis, kreativitas, nilai, dan etika. Integrasi AI di sekolah membutuhkan sinergi antara sekolah, orang tua, dan komunitas pendidikan untuk memastikan teknologi memperkuat proses pembelajaran, bukan menjadi jalan pintas yang mengurangi kemampuan penalaran dan pengambilan keputusan siswa.