
Peringatan Bank Indonesia (BI) mengenai potensi gejolak global yang kian meningkat kembali memicu pertanyaan fundamental seputar apa itu krisis 2008 dan mengapa bayang-bayangnya terasa mengancam untuk muncul kembali. Dalam laporan terbaru Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (PEKKI) 2025, BI secara tegas menyoroti bahwa lanskap tantangan global di masa mendatang akan didominasi oleh ketidakpastian geopolitik, perang dagang, serta volatilitas pasar yang persisten.
Guna mengurai kompleksitas situasi tersebut, pemahaman mendalam mengenai apa itu krisis 2008 menjadi sangat krusial. Konteks global saat ini dinilai telah memasuki fase yang amat sensitif terhadap setiap perubahan kebijakan ekonomi dari negara-negara besar, menciptakan kerentanan yang patut diwaspadai.
Apa Itu Krisis 2008
Memahami apa itu krisis 2008 tak bisa dilepaskan dari kisah runtuhnya pasar properti di Amerika Serikat, yang dipicu oleh praktik pinjaman subprime mortgage yang longgar. Ketika tingkat gagal bayar melonjak tajam, lembaga keuangan besar mengalami kerugian kolosal, menyulut krisis kepercayaan global yang tak terhindarkan. Peristiwa tragis ini menempatkan 2008 sebagai salah satu krisis terbesar dalam kronik sejarah ekonomi modern.
Baca juga:
- Ekonomi Global Makin Berisiko, BI Ungkap Krisis 2008 Berpotensi Terulang
- Perubahan Iklim, Krisis Pangan, dan Ancaman terhadap Ekonomi
- Seruan Belem untuk Iklim Desak Negara-Negara Merespons Krisis Global
Kerentanan tersebut kian membesar seiring nilai instrumen securitized assets yang tersebar di berbagai belahan dunia mengalami penurunan drastis. Kebangkrutan Lehman Brothers kemudian menjadi pemicu kepanikan pasar yang masif, memaksa otoritas moneter global untuk mengimplementasikan kebijakan darurat, termasuk quantitative easing. Dinamika inilah yang kini kembali menjadi perhatian serius BI saat mengamati pola tekanan global kontemporer.
Dalam laporan PEKKI-nya, BI secara spesifik menyoroti perilaku agresif lembaga keuangan non-bank (NBFI) yang kian gencar memanfaatkan utang pemerintah negara-negara maju untuk menciptakan produk derivatif kompleks. Ironisnya, aktivitas berisiko ini seringkali dilakukan tanpa pengaturan margin dan modal yang memadai. Kondisi ini secara mencolok mengingatkan pada titik-titik kerentanan yang menjadi embrio krisis global hampir dua dekade silam.
Sinyal Tekanan Global Menurut BI
Otoritas moneter menilai bahwa dinamika pasar keuangan global saat ini sedang berada pada fase yang berpotensi berubah sangat cepat. Hal ini disebabkan oleh ketegangan kebijakan moneter dan politik internasional yang semakin memanas. Lembaga keuangan non-bank (NBFI) secara khusus diidentifikasi sebagai potensi pemicu aksi jual besar-besaran apabila terjadi pembalikan pasar yang signifikan.
BI menegaskan bahwa pola perilaku NBFI ini memiliki kesamaan yang mencolok dengan kondisi menjelang krisis 2008. Lebih lanjut, perang dagang dan pergeseran kebijakan tarif sepihak oleh Amerika Serikat turut memperburuk arah kerja sama global, sementara volatilitas suku bunga internasional terus menguat di tengah tekanan-tekanan tersebut.
Utang Global, Aset Digital, dan Risiko
- Risiko yang ditimbulkan oleh NBFI diperparah oleh posisi utang publik global yang kini telah mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Total kewajiban pemerintah dunia diperkirakan mencapai sekitar US$110,9 triliun, setara dengan 94,6% dari PDB global. BI menilai lonjakan utang ini secara langsung mendorong kenaikan suku bunga internasional, yang pada gilirannya menambah beban berat bagi negara-negara berkembang.
- Selain itu, BI juga menyoroti peningkatan volatilitas signifikan dari aset digital, seperti kripto, stablecoin, dan tokenisasi aset yang dilakukan oleh pihak swasta. Minimnya regulasi serta ketiadaan standar perlindungan yang setara dengan lembaga keuangan tradisional menciptakan celah besar bagi risiko pencucian uang dan kerentanan konsumen yang serius.
- Terakhir, BI mencermati dampak perang dagang yang semakin meluas sebagai konsekuensi dari kebijakan tarif sepihak yang diterapkan Amerika Serikat. Pergeseran fundamental dari paradigma kerja sama multilateral menuju hubungan bilateral dinilai meningkatkan ketidakpastian dalam perdagangan global, menimbulkan kekhawatiran akan fragmentasi ekonomi.
Pelajaran Krisis 2008 dan Prospek Indonesia
Pemahaman mendalam mengenai apa itu krisis 2008 menjadi bekal esensial untuk mengantisipasi bagaimana tekanan global dapat merambat dan memengaruhi ekonomi domestik. Pada 2008, Indonesia mengalami guncangan berupa pelemahan pasar saham hingga 50%, depresiasi rupiah yang signifikan, dan penurunan ekspor. Risiko serupa, meski dengan wajah yang mungkin berbeda, dinilai dapat muncul kembali bila gejolak global mencapai puncaknya. Namun demikian, prospek ekonomi Indonesia secara keseluruhan tetap menunjukkan ketahanan yang kuat.
- BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 akan berada di rentang 4,7%–5,5%.
- Proyeksi ini menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan, dengan pertumbuhan diperkirakan mencapai kisaran 4,9%–5,7% pada 2026 dan 5,1%–5,9% pada 2027.
- Dengan perkiraan inflasi di sekitar 2,5±1% dan pertumbuhan kredit perbankan di angka 8%–12%, fondasi ekonomi domestik Indonesia dinilai cukup solid untuk menghadapi tantangan.
Dengan demikian, pemahaman menyeluruh mengenai apa itu krisis 2008 menjadi landasan krusial dalam membaca dinamika risiko global yang kini kembali meningkat. Berbagai tekanan baru, mulai dari agresivitas NBFI, akumulasi utang global, volatilitas aset digital, hingga ketegangan geopolitik, mendorong BI untuk menegaskan perlunya kewaspadaan yang lebih tinggi. Meskipun ketahanan ekonomi domestik tetap menjadi prioritas, dinamika global niscaya akan menjadi penentu utama arah perekonomian ke depan.