JAKARTA — Pasar modal Indonesia tengah menyaksikan fenomena menarik di penghujung tahun, di mana sejumlah emiten dengan kapitalisasi pasar besar, termasuk ASII, BBCA, UNTR, dan ITMG, gencar melakukan aksi pembelian kembali saham atau buyback. Langkah strategis ini dipercaya memiliki potensi untuk mendongkrak laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga akhir tahun.
Lanjar Nafi, selaku WM Market Research Head Bank CIMB Niaga, menyoroti bahwa aksi buyback yang dilakukan oleh emiten-emiten raksasa tersebut, seperti ASII, BBCA, UNTR, dan ITMG, secara teoritis akan membawa sejumlah implikasi penting bagi dinamika pasar saham. Pemahaman atas implikasi ini krusial bagi investor dalam menyikapi pergerakan pasar.
Secara fundamental, Lanjar menjelaskan, buyback bertujuan mengurangi jumlah saham yang beredar (outstanding shares) di pasar publik. Logika hukum permintaan dan penawaran berlaku: ketika suplai saham berkurang sementara permintaan tetap stabil atau bahkan meningkat, kondisi ini secara alami akan menciptakan tekanan positif yang berpotensi mendorong kenaikan harga saham emiten bersangkutan.
Selain itu, aksi buyback sering kali diinterpretasikan oleh pelaku pasar sebagai sinyal kuat bahwa manajemen perusahaan meyakini harga saham mereka saat ini berada di bawah nilai intrinsiknya atau undervalued. Ini mencerminkan optimisme internal manajemen terhadap prospek bisnis perusahaan di masa mendatang, demikian disampaikan Lanjar pada Selasa (4/11/2025).
Apabila emiten-emiten dengan kapitalisasi besar yang melakukan buyback tersebut berhasil mencatat apresiasi harga saham, secara matematis, kontribusi positif terhadap pergerakan IHSG di masa depan tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, Lanjar menggarisbawahi bahwa saham-saham yang aktif melakukan buyback ini patut menjadi perhatian serius para investor.
Meski demikian, investor perlu tetap cermat. Meskipun buyback umumnya dianggap sebagai sentimen positif di pasar, ada beberapa faktor krusial lain yang patut dicermati. Ini meliputi dukungan dari kinerja keuangan yang solid, seperti pertumbuhan laba yang konsisten, arus kas yang kuat, dan tingkat utang yang sehat. Selain itu, investor juga akan menganalisis motif di balik penggunaan dana buyback—apakah murni karena keyakinan akan nilai undervalued atau ada tujuan lain. Tak kalah penting, sentimen pasar secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh suku bunga, inflasi, dan kondisi ekonomi global juga akan sangat memengaruhi pergerakan harga saham, terlepas dari aksi korporasi yang terjadi.
Dalam perkembangan terbaru, manajemen PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) telah mengumumkan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui rencana buyback dengan alokasi dana maksimal sebesar Rp2,49 triliun, yang akan bersumber dari kas internal perseroan. Keputusan ini diambil dengan asumsi pelaksanaan buyback secara keseluruhan, termasuk biaya terkait. Sebelumnya, emiten perbankan raksasa dari Grup Djarum, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), juga telah menyiapkan dana Rp5 triliun untuk aksi serupa. Tak ketinggalan, emiten Grup Astra, yakni PT Astra International Tbk. (ASII) dan PT United Tractors Tbk. (UNTR), masing-masing berencana melakukan buyback saham dengan nilai maksimal Rp2 triliun.
Disclaimer: Berita ini murni bersifat informatif dan tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi yang diambil oleh pembaca.
Ringkasan
Sejumlah emiten besar seperti ASII, BBCA, UNTR, dan ITMG melakukan aksi buyback saham yang diperkirakan dapat mendorong IHSG. Buyback mengurangi jumlah saham beredar dan sering diinterpretasikan sebagai sinyal bahwa manajemen yakin harga saham undervalued.
Investor perlu mencermati kinerja keuangan perusahaan, motif buyback, serta sentimen pasar secara keseluruhan seperti suku bunga, inflasi, dan kondisi ekonomi global. ITMG mengalokasikan Rp2,49 triliun untuk buyback, sementara BBCA, ASII, dan UNTR masing-masing menyiapkan Rp5 triliun dan Rp2 triliun.