Kecerdasan buatan (AI) atau artificial intelligence telah merevolusi berbagai aspek kehidupan, dari mempercepat riset ilmiah hingga memudahkan pekerjaan dan pengambilan keputusan. Namun, di balik kemajuannya, AI juga menjadi medan pertarungan baru. Seperti yang diungkapkan Stefka Schmid dkk. (2025) dalam riset “Arms Race or Innovation Race? Geopolitical AI Development”, AI telah memicu persaingan geopolitik, kontestasi ekonomi global, dan menjadi instrumen politik yang dinamis.
Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap inovasi teknologi besar memiliki konsekuensi politik dan sosial yang signifikan. Revolusi industri, dipicu oleh penemuan mesin uap pada abad ke-18, memperluas praktik kolonialisme. Begitu pula internet pada akhir abad ke-20, yang tak hanya mengubah komunikasi, tetapi juga memperkuat monopoli raksasa teknologi global. AI pun tak terkecuali. Pertanyaannya bukan hanya sebatas kecanggihan algoritma dan data, tetapi juga siapa yang mengendalikan teknologi ini, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tertinggal. Daniel Kokotajlo dkk. (2025), dalam “AI 2027”, mengungkapkan persaingan geopolitik yang sengit antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam pengembangan AI. Uni Eropa, di sisi lain, berupaya menjadi regulator etika dan regulasi AI, mengingat potensi bahaya yang mengintai jika tidak ditangani sejak dini (Kusche, 2024).
Perusahaan-perusahaan besar seperti OpenAI, Google, Meta, dan Baidu menguasai sumber daya utama pengembangan AI: algoritma, data, dan talenta. Mereka bukan hanya pelaku pasar, tetapi juga aktor kunci yang mempengaruhi regulasi dan pemanfaatan teknologi ini. Konsekuensi politik dan sosial ekonomi dari dominasi ini sangat serius. Pertama, ketimpangan teknologi antarnegara semakin lebar. Negara berkembang, tanpa kapasitas riset dan infrastruktur memadai, akan semakin tertinggal dan bergantung pada negara maju.
Kedua, risiko penyalahgunaan AI sangat tinggi. AI dapat digunakan untuk menyebarkan misinformasi dan disinformasi secara besar-besaran, meningkatkan propaganda politik, dan melakukan pengawasan massal. Temuan penelitian bahkan menunjukkan dampak negatif AI terhadap demokrasi, terutama keterbukaan informasi (Kreps & Kriner, 2023). Ketiga, konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir negara atau perusahaan akan memengaruhi arah pengembangan AI, yang mencerminkan kepentingan politik tertentu, bukan kepentingan global.
Sayangnya, perhatian publik terhadap AI seringkali terfokus pada aspek permukaan: kemampuan AI menjawab pertanyaan, membantu tugas kuliah, dan sebagainya. Pertanyaan yang lebih mendasar—siapa yang mengendalikan infrastruktur AI global, bagaimana pembagian manfaat dan mitigasi risiko, serta mekanisme akuntabilitas terhadap dampak sosial dan politik—jarang diangkat. Tata kelola AI yang baik, baik di tingkat global maupun nasional, menjadi sangat krusial.
Posisi Indonesia
Indonesia, dengan populasi besar dan ekonomi digital yang berkembang pesat, memiliki potensi besar menjadi pemain kompetitif dalam ekosistem AI global, bukan hanya sekadar pasar. Namun, ini membutuhkan langkah nyata: investasi dalam riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan talenta digital, serta regulasi yang melindungi kepentingan publik tanpa menghambat inovasi. Partisipasi aktif Indonesia dalam forum internasional yang membahas tata kelola AI juga penting untuk memengaruhi aturan main global dan mencegah Indonesia menjadi hanya penerima kebijakan sepihak dari kekuatan besar. Hal ini berdampak signifikan pada berbagai sektor pembangunan dan investasi di masa depan.
AI bukan sekadar alat bantu produktivitas; ia adalah infrastruktur peradaban baru, seperti listrik dan internet, yang akan memengaruhi semua aspek kehidupan, dari pendidikan dan kesehatan hingga pertanian, industri, dan keamanan nasional. Mengabaikan aspek politik AI sama artinya dengan menyerahkan masa depan kita kepada pihak lain yang memiliki sumber daya lebih besar. Kompetisi di era AI terjadi di pusat data, laboratorium riset, dan ruang para pembuat kebijakan, yang akan menentukan distribusi kekuasaan global.
Oleh karena itu, publik, pembuat kebijakan, dan komunitas riset harus memiliki kesadaran kritis. AI menawarkan peluang luar biasa, tetapi tanpa pengawasan yang efektif dan akuntabel, justru akan memperburuk ketimpangan, membatasi kebebasan, dan mengubah keseimbangan politik global. Kita perlu memastikan AI dikembangkan dan digunakan untuk kepentingan bersama, secara adil dan berkelanjutan. Masa depan AI bukan hanya tentang kecerdasan algoritma, tetapi sejauh mana teknologi ini menyelamatkan masa depan generasi mendatang.
Baca juga:
- Artificial Intelligence dan Pentingnya Pembuktian Manusia atau Robot
- Wamenkomdigi Minta Platform Digital Sediakan Fitur Deteksi Konten AI
- Pemerintah Luncurkan Mal Pelayanan Publik Digital, Apa Fungsi Bagi Masyarakat?
Ringkasan
Perkembangan AI memicu persaingan geopolitik dan ekonomi global, dengan negara-negara maju seperti AS dan Tiongkok berebut dominasi. Kepemilikan teknologi AI oleh perusahaan besar seperti OpenAI dan Google menimbulkan kekhawatiran akan ketimpangan teknologi antar negara dan penyalahgunaan AI untuk menyebarkan misinformasi dan pengawasan massal, serta berdampak negatif terhadap demokrasi.
Indonesia perlu mengambil peran aktif dalam pengembangan dan regulasi AI untuk menghindari ketergantungan pada negara lain. Investasi riset, pendidikan talenta digital, dan regulasi yang tepat diperlukan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pemain kompetitif di ekosistem AI global, mengingat AI akan membentuk ulang berbagai sektor, dari ekonomi hingga keamanan nasional.