
Gaya hidup konsumtif, luka masa lalu, dan gempuran penipuan digital membuat relasi generasi muda dengan uang sering kali menjadi lebih kompleks dari sekadar urusan angka. Di sinilah financial healing hadir sebagai solusi untuk menata kembali konsep keuangan yang sehat.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, menekankan bahwa financial healing bukan sekadar mengatur anggaran. Ini adalah proses yang lebih dalam untuk memperbaiki hubungan kita dengan uang.
“Financial healing bukan hanya tentang menambal ‘dompet bocor’, tetapi juga tentang menyembuhkan hubungan kita dengan uang. Lebih jauh lagi, ini tentang menumbuhkan rasa percaya diri, rasa cukup, dan rasa syukur,” ungkap Friderica dalam acara Katadata Financial Healing di Jakarta, Jumat (14/11).
Inti dari financial healing terletak pada perubahan pola pikir. Dari yang semula merasa uang selalu kurang, menjadi lebih bijak dalam mengelola keuangan.
Proses ini dimulai dengan keberanian mengakui “luka” lama terkait uang. Ini bisa berupa kecemasan finansial, trauma ekonomi keluarga, atau bahkan pola konsumsi impulsif. Namun, Friderica menegaskan bahwa trauma bukanlah akhir dari segalanya.
“Trauma keuangan masa lalu tidak membuat mereka terpuruk, tetapi justru memicu mereka untuk belajar lebih keras,” imbuhnya, sembari mengutip kisah inspiratif para tokoh sukses yang mampu bangkit dari kesulitan ekonomi di masa kecil.
Menjadi pribadi yang melek finansial berarti memahami nilai uang, mampu menyusun prioritas dengan bijak, dan mempersiapkan masa depan dengan perencanaan yang matang. Karena, kesehatan finansial kini sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan mental.
Masalah Finansial: Realitas Kehidupan
Pemimpin Redaksi Katadata, Yura Syahrul, saat membuka acara, menyoroti bahwa masalah keuangan adalah isu lintas generasi. Namun, tingkat literasi keuangan di kalangan generasi muda masih tergolong rendah.
Yura mengutip data OJK yang menunjukkan bahwa kelompok usia 17–25 tahun memiliki tingkat literasi keuangan terendah, meskipun mereka adalah yang paling aktif menggunakan layanan finansial digital. Sebaliknya, kelompok usia 26–35 tahun memiliki tingkat literasi keuangan tertinggi.
Katadata menghadirkan acara ini sebagai wadah untuk refleksi dan pemulihan. “Kami berharap, setelah acara ini, kita semua memiliki semangat baru untuk menata masa depan, baik secara finansial maupun mental,” kata Yura.
Aliyah Natasha, Financial Educator dan Founder DNA Finance, menambahkan bahwa generasi muda hidup di tengah siklus krisis ekonomi yang berulang. Peristiwa-peristiwa ini, menurutnya, turut membentuk kesadaran generasi muda akan pentingnya pengelolaan keuangan.
“Dalam 10 tahun terakhir, kita telah mengalami banyak krisis. Tidak semuanya disebut financial crisis, tetapi semuanya berdampak pada hidup kita,” jelasnya.
Terlebih lagi, dengan biaya hidup yang terus meningkat, investasi pada aset yang tepat menjadi krusial. “Contohnya, emas. Setiap krisis, harga emas selalu naik. Dari Rp25 ribu di tahun 1994, sekarang di tahun 2025 harga emas mencapai Rp2,3 juta. Bahkan, dari Januari 2024 ke November 2025, emas naik Rp1,3 juta,” tambahnya.
Aliyah menekankan bahwa investasi tidak harus dimulai dengan modal besar. “Yang penting adalah diversifikasi, karena biaya hidup akan semakin mahal di masa depan,” katanya.
Namun, mengelola keuangan bukan berarti menolak sepenuhnya “membeli” kesenangan. “Kita boleh punya hobi dan menikmati pengalaman. Tapi kita harus sadar bahwa besok, hidup akan lebih mahal dari hari ini,” pesan Aliyah.
Literasi untuk Melawan Penipuan
Di tengah derasnya arus informasi dan digitalisasi, masalah finansial tidak hanya berasal dari masalah internal individu. Siapa pun kini berisiko menjadi korban penipuan digital yang semakin canggih.
Data Indonesia Anti-Scam Center per November 2025 menunjukkan bahwa kerugian masyarakat akibat berbagai modus penipuan telah mencapai Rp7,3 triliun, berasal dari lebih dari 323 ribu laporan.
Setiap hari, Indonesia menerima 800–1.000 laporan penipuan, jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain yang rata-rata hanya 150–200 laporan per hari. “Ini sangat mengerikan dan memprihatinkan,” ujar Friderica.
Ia memaparkan beberapa modus penipuan yang paling sering terjadi. Contohnya, penipuan transaksi belanja online dengan lebih dari 58 ribu laporan dan kerugian di atas Rp1 triliun.
Kemudian, ada fake call, di mana pelaku berpura-pura menjadi kerabat atau teman, membuat korban panik dan langsung mengirimkan uang. Ada juga penipuan investasi yang memanfaatkan tren investasi di kalangan generasi muda, namun menjebak mereka dalam skema bodong.
Selain itu, penipuan lowongan kerja juga marak terjadi. Modusnya adalah menjebak korban dengan iming-iming pekerjaan mudah berpenghasilan besar, dengan lebih dari 19 ribu laporan. Belum lagi penipuan hadiah dan love scam yang menyerang korban melalui pendekatan emosional.
Menurut Friderica, meningkatnya kasus penipuan disebabkan oleh tingginya tingkat digitalisasi masyarakat yang tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang memadai. Banyak anak muda mengambil keputusan finansial secara impulsif, mulai dari doom scrolling hingga impulse buying. Akibatnya, tak jarang mereka terjerat pinjaman online ilegal atau over-indebtedness (terlalu banyak utang).
“Jangan sampai kita masuk ke jebakan-jebakan seperti itu,” tegas Friderica.
OJK, kata Friderica, memandang literasi keuangan sebagai bagian dari mandat perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 21/2011 dan diperkuat UU No. 4/2023. Peran ini diwujudkan melalui pengawasan, edukasi, serta penindakan terhadap praktik-praktik yang merugikan masyarakat.
Menurutnya, pekerjaan ini tidaklah mudah. Tantangan literasi mencakup luasnya geografis Indonesia, keberagaman demografi, hingga kesenjangan antara tingkat inklusi dan literasi keuangan.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025, indeks literasi berada di angka 66,46 persen, sementara inklusi mencapai 80,51 persen. Selisih yang lebar ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat memiliki akses ke layanan keuangan, tetapi belum memahami risiko dan cara menggunakannya dengan benar.
Melalui Program Gerakan Nasional Cerdas Keuangan, OJK menggelar gerakan kolaboratif dengan seluruh pelaku usaha jasa keuangan. Hingga Oktober 2024, program ini telah menjalankan 42.121 kegiatan edukasi yang menjangkau lebih dari 200 juta peserta atau viewers.
Friderica menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. OJK tidak bisa bekerja sendiri, melainkan harus menggandeng industri jasa keuangan, media, dan komunitas. Salah satu bentuk konkret dari upaya ini adalah Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (Gernas CK).
Ringkasan
Artikel ini membahas tentang financial healing sebagai solusi untuk menata kembali konsep keuangan yang sehat, terutama bagi generasi muda. Financial healing bukan hanya tentang mengatur anggaran, tetapi juga tentang memperbaiki hubungan dengan uang dan menumbuhkan rasa percaya diri, rasa cukup, dan rasa syukur. Proses ini melibatkan perubahan pola pikir dan keberanian mengakui “luka” lama terkait uang.
Artikel ini juga menyoroti pentingnya literasi keuangan untuk melawan penipuan digital yang semakin canggih. Data menunjukkan kerugian masyarakat akibat penipuan mencapai triliunan rupiah. OJK menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan literasi keuangan melalui program seperti Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (Gernas CK), yang telah menjangkau jutaan peserta.