
Fenomena kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga Banten yang dilaporkan ke polisi karena menegur murid merokok bukan sekadar persoalan rusaknya adab hubungan guru dengan murid, melainkan cerminan kegagalan sistemik negara dalam melindungi generasi muda dari bahaya rokok. Data Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA, 2021) menunjukkan bahwa sekitar 38,3% remaja usia 13-18 tahun di Indonesia adalah perokok aktif. Angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Bahkan, usia mulai merokok di Indonesia adalah yang termuda, yaitu 16,8 tahun.
Sebuah angka yang begitu tinggi hingga merokok seolah menjadi “ritual transisi” menuju dewasa yang dianggap wajar. Remaja dengan mudah mengakses rokok, didukung oleh iklan yang masif, harga yang terjangkau, dan minimnya pengawasan. Dalam situasi seperti ini, guru yang berusaha meluruskan justru menjadi pesakitan, sementara rokok bebas merajalela tanpa konsekuensi.
Kita harus mengubah perspektif dalam melihat akar masalah ini. Bukan lagi pada cara guru mendidik, atau anak remaja kurang ajar yang berani merokok di lingkungan sekolah. Tetapi pada lingkungan yang membiarkan rokok menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak remaja di lingkungan pendidikan.
Akar masalah tersebut bisa kita mulai telusuri dari gagalnya kampanye anti rokok yang terstruktur. Entah sengaja atau tidak, negara sebenarnya gagal dalam mewujudkan narasi komunikasi risiko tentang bahaya merokok pada generasi muda. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, menemukan fakta mengejutkan: paparan pesan anti-rokok di media dan acara-acara publik justru meningkatkan kecenderungan remaja menjadi perokok aktif.
Baca juga:
- Mendikdasmen Akan Libatkan OSIS untuk Atasi Maraknya Siswa Merokok di Sekolah
- Guru SMA Gugat UU Pemda ke MK, Minta Urusan Pendidikan Ditarik ke Pusat
- Riset KIC: SPMB Bikin Akses Pendidikan Merata dan Berkeadilan
Studi kemudian dikuatkan oleh Megatsari dkk. (2023), dalam jurnal yang dimuat di jurnal internasional BMC Public Health. Hasil studi menunjukkan bahwa remaja yang terpapar pesan anti-rokok di media (seperti TV, internet, atau billboard) memiliki kemungkinan 1,41 kali lebih tinggi untuk menjadi perokok aktif. Sementara itu, pesan anti rokok di sekolah justru tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap perilaku merokok. Artinya, pesan yang disampaikan selama ini dinilai kurang efektif, bahkan berpotensi memicu rasa penasaran.
Mengapa Bisa Terjadi?
Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi perokok remaja usia 10-18 tahun adalah 7,4%. Jika persentase 7,4% dari remaja perokok usia 10-18 tahun diaplikasikan dalam angka, jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 5,9 juta anak/remaja Indonesia.
Beberapa ahli menduga, hal ini terkait dengan gencarnya paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok di sekitar remaja. Data GYTS 2019 mengonfirmasi bahwa lebih dari 40% remaja terpapar lebih dari satu jenis promosi rokok. Industri rokok masih leluasa menjangkau anak muda melalui berbagai saluran, termasuk media digital, acara olahraga, dan musik. Selain itu, intervensi industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih tinggi, membuat pesan anti-rokok sulit bersaing.
Faktor lingkungan juga turut berperan. Anak yang melihat orang merokok di rumah atau sekolah, serta memiliki orang tua atau teman yang merokok, cenderung lebih mudah terpengaruh untuk mencoba rokok.
Bukan hal yang aneh apabila kita melihat remaja sekolah dengan mudah membeli rokok secara ketengan di warung-warung. Mereka terbiasa terpapar iklan rokok di setiap sudut jalan, dan melihat para publik figur merokok dengan bebas di media sosial.
Ketika lingkungan begitu permisif terhadap rokok, tindakan tegas seorang guru justru dianggap sebagai pelanggaran. Semua ini terjadi dalam lingkaran setan yang sulit diputus. Remaja merokok karena lingkungan mendukung, guru dikekang untuk bertindak, industri rokok terus berkampanye, dan negara hadir lebih sebagai regulator yang lamban daripada pelindung generasi muda.
Pendekatan Komunikasi Kesehatan Berbasis Digital
Pemerintah dan pihak terkait perlu mengevaluasi strategi komunikasi kesehatan yang digunakan. Pesan anti rokok harus disampaikan dengan cara yang lebih relevan, kreatif, dan sesuai dengan karakteristik remaja masa kini. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2024) menyebutkan bahwa generasi Z di Indonesia memiliki angka 87,02% sebagai pengguna aktif internet.
Menjadi relevan apabila pemerintah menggunakan media sosial dengan lebih baik, bisa melibatkan influencer, atau menyajikan cerita nyata tentang dampak merokok yang dapat menjadi alternatif. Dalam jurnal internasional yang ditulis oleh Jianan Ling (2024), komunikasi kesehatan berbasis digital yang menjelaskan dampak buruk merokok secara ilmiah dan kasus nyata yang dinarasikan secara kreatif, mampu menyentuh hati anak remaja untuk memikirkan dampak buruk merokok.
Selain itu, penguatan regulasi untuk membatasi iklan dan sponsor rokok, serta edukasi yang konsisten di sekolah dan keluarga, juga sangat penting. Tanpa upaya yang menyeluruh dan berbasis bukti, pesan anti-rokok berisiko hanya menjadi slogan tanpa makna. Mencegah remaja merokok bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kita semua. Mari bersama ciptakan lingkungan yang mendukung generasi muda bebas asap rokok.
Sebuah Renungan
Menjadi tidak adil melihat masalah ini dari perspektif minimnya adab generasi muda terhadap gurunya, juga menjadi tidak bijak apabila kita melihat guru bisa sampai dilaporkan ke polisi karena persoalan “kekerasan” akibat melihat muridnya yang merokok. Karena faktanya industri rokok bebas memasang spanduk raksasa di mana saja, bahkan mungkin di jalan depan sekolah, membagikan sampel gratis di konser musik, dan menjadikan rokok sebagai simbol keren ala anak muda.
Tidak ada yang melaporkan perusahaan rokok ke polisi. Tidak ada yang mempersoalkan bagaimana rokok membunuh generasi muda kita secara perlahan. Di tengah situasi seperti ini, apa yang seharusnya dilakukan guru? Membiarkan saja? Toh gaji mereka tetap cair. Atau diam-diam mengirim pesan, “Nak, silakan merokok, biar paru-parumu yang menjawab nanti”.
Mungkin kita perlu bertanya lebih kejam, fakta seorang guru yang menampar muridnya karena merokok, atau sebuah sistem yang membiarkan generasi muda kecanduan rokok sambil menghukum mereka yang berusaha menyelamatkannya?.
Yang jelas, ketika guru tak lagi diizinkan mendidik dengan tegas, dan pesan anti rokok justru berbalik efek, maka yang tersisa hanyalah generasi yang dibesarkan oleh iklan rokok dan hukum yang memanjakan perilaku destruktif.