Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menilai Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam mencapai target komitmen iklim nasional yang selaras dengan Persetujuan Paris. Meski Indonesia telah memiliki target penurunan emisi yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), realisasinya masih terganjal oleh kebijakan yang tidak konsisten, terutama di sektor energi.
“Sebenarnya meskipun Indonesia sudah punya target dari NDC, seringkali ada beberapa hambatan untuk mencapai target komitmen iklim ini,” ujarnya dalam acara diskusi daring, Selasa (14/10).
Hingga kini, ICEL menilai kebijakan energi nasional masih cenderung memberi ruang besar bagi energi fosil ketimbang mendorong transisi ke energi bersih.
“Banyak kebijakan sektor energi ini yang memang sebenarnya masih memberikan insentif terhadap pengembangan energi fosil dan sedikit kebijakan yang cukup mendukung secara seimbang pengembangan energi terbarukan supaya energi terbarukan itu cukup kompetitif untuk menggantikan energi fosil,” katanya.
Salah satu contohnya, dapat dilihat pada regulasi turunan Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Mineral dan Batu Bara yang memberikan keringanan kepada pelaku industri batu bara.
“Kita melihat masih adanya pemberian 0% royalti kalau misalkan ada hilirisasi batu bara,” ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti keberlanjutan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam program 35 gigawatt yang masih dikategorikan sebagai proyek strategis nasional (PSN). Status ini, kata Syaharani, membuat proyek PLTU mendapat berbagai kemudahan, termasuk dalam perizinan.
Tak hanya itu, kebijakan harga batu bara domestik yang dibatasi hanya US$ 70 per ton juga dinilai memperlemah daya saing energi terbarukan.
“Domestic price untuk coal yang dibatasi US$ 70 per ton membuat pembangkitan energi terbarukan itu jadi sangat mahal kalau dibandingkan dengan pembangkitan PLTU,” jelasnya.
Menghambat Komitmen Iklim
Menurut Syaharani, serangkaian kebijakan tersebut secara teknis telah menghambat pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor energi. “Jadi, kebijakan-kebijakan seperti ini dari segi teknis energinya sudah cukup menghambat pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor energi,” ujar Syahrani.
Namun, ia juga menambahkan bahwa hambatan bukan hanya datang dari sektor energi. Dari sisi sosial, Indonesia masih perlu memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, serta memastikan keterlibatan publik dalam proses pembangunan.
“Misalkan pelindungan masyarakat rentan seperti masyarakat adat, memastikan bahwa akses informasi dan juga partisipasi masyarakat terjamin dalam proses pembangunan, Indonesia masih memiliki beberapa kebijakan yang sebenarnya belum cukup kuat untuk melindungi kepentingan ini,” tuturnya.