Industri ban nasional tengah berada dalam situasi yang sangat genting, terperangkap di antara disrupsi pasar global yang masif dan lonjakan bea masuk yang diberlakukan oleh berbagai negara tujuan ekspor ban. Kombinasi tekanan ini telah memicu penurunan signifikan pada volume produksi ban dan ekspor, memaksa beberapa pabrikan mengambil langkah drastis berupa pengurangan tenaga kerja demi mempertahankan kelangsungan bisnis.
Azis Pane, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI), mengungkapkan proyeksi yang mengkhawatirkan. Ia memperkirakan bahwa volume ekspor ban Indonesia hingga akhir tahun ini hanya akan mencapai sekitar 15 juta unit, sebuah angka yang jauh di bawah ekspektasi, yakni hanya 30% dari target awal. Penurunan drastis ini dipicu oleh kebijakan kenaikan tarif bea masuk yang diterapkan secara signifikan oleh mayoritas negara tujuan ekspor ban Indonesia, termasuk Turki, Mesir, dan Amerika Serikat.
Azis menjelaskan bahwa target ambisius ekspor ban sebesar 50 juta unit untuk tahun ini ditetapkan ketika bea masuk ke Amerika Serikat, salah satu pasar terbesar, masih 0%. Namun, perubahan kebijakan drastis di bawah Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump telah meningkatkan tarif tersebut menjadi 21%, sebuah pukulan telak bagi profitabilitas industri.
Dengan margin keuntungan rata-rata industri ban yang hanya berkisar antara 5% hingga 7%, kenaikan bea masuk sebesar 21% membuat bisnis ini menjadi tidak lagi menguntungkan. “Pabrik enggak mau bisnis dong,” tegas Azis kepada Katadata.co.id pada Selasa (4/11). Ia menambahkan dengan nada serius, “Kasih tahu pada pemerintah bahwa industri ban di dalam negeri sudah mau mati.” Pernyataan ini mencerminkan kegentingan situasi yang dihadapi sektor vital ini.
Dampak langsung dari tekanan ini telah terasa pada sektor ketenagakerjaan. Menurut Azis, beberapa pabrikan kini terpaksa mengurangi jumlah karyawan mereka melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau merumahkan pekerja. Setidaknya ada dua perusahaan besar yang telah mengambil langkah sulit ini untuk bertahan di tengah gejolak pasar, yakni PT Multistrada Arah Sarana dan PT Banteng Pratama.
Lebih lanjut Azis menjelaskan, PT Multistrada Arah Sarana, produsen ban mobil merek Michelin, masih melanjutkan aktivitas produksi ban. Namun, nasib berbeda dialami PT Banteng Pratama, produsen ban sepeda motor merek Mizzle, yang telah menghentikan seluruh operasional produksi ban mereka. Meski demikian, penghentian produksi di Banteng Pratama disebutkan karena faktor pergantian manajemen oleh pemegang saham asal Korea Selatan, dan diharapkan akan kembali beroperasi setelah restrukturisasi.
Azis mengklarifikasi bahwa PT Banteng Pratama, meskipun volume produksi ban-nya tidak terlalu besar, merupakan salah satu yang terdampak. “Pabrik ban yang menghentikan operasi itu kecil volumenya, namanya PT Banteng Pratama. Tapi dia akan produksi lagi setelah ganti manajemen,” ujarnya, memberikan sedikit harapan di tengah kabar buruk.
Dukungan Daya Saing
Fakta menunjukkan bahwa industri ban nasional, khususnya ban mobil, memiliki orientasi ekspor ban yang sangat kuat. Data APBI mengungkapkan bahwa dari total produksi ban tahun lalu, sebanyak 36,62 juta unit ban berhasil diekspor, menyumbang 53,79% dari keseluruhan produksi. Angka ini menegaskan betapa krusialnya pasar ekspor bagi kelangsungan industri ini.
Meskipun APBI mulanya menargetkan kenaikan volume ekspor ban mobil sebesar 36,36% atau mencapai 49,94 juta unit tahun ini, Azis pesimis. Ia menegaskan bahwa realisasi volume ekspor ban hanya akan menyentuh angka 15 juta unit. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh disrupsi pasar global, tetapi juga oleh rendahnya daya saing industri ban nasional di kancah internasional.
Azis menyoroti salah satu biang keladi minimnya daya saing: tingginya harga gas industri. Pabrikan ban di Indonesia harus membayar sekitar US$16 per MMBTU untuk gas, angka yang sangat kontras jika dibandingkan dengan kompetitor di Vietnam dan Thailand yang hanya mengeluarkan US$4 per MMBTU. Perbedaan harga yang mencolok ini secara langsung membebani biaya produksi dan mengurangi kemampuan bersaing di pasar global.
“Selain tantangan di pasar ekspor, alasan lain di balik pengurangan volume produksi ban oleh pabrik tahun ini adalah tingginya harga bahan baku, terutama gas industri,” pungkas Azis, merangkum kompleksitas masalah yang melanda industri ban nasional.
Ringkasan
Industri ban nasional sedang mengalami kemunduran akibat penurunan ekspor yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh kombinasi dari disrupsi pasar global dan kenaikan bea masuk di negara-negara tujuan ekspor, seperti Turki, Mesir, dan Amerika Serikat. Akibatnya, volume produksi dan ekspor ban menurun drastis, dan beberapa perusahaan terpaksa melakukan PHK untuk bertahan.
Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) memproyeksikan ekspor ban hanya akan mencapai 15 juta unit tahun ini, jauh di bawah target awal. Selain tantangan ekspor, daya saing industri ban juga terhambat oleh tingginya harga gas industri di Indonesia dibandingkan negara kompetitor seperti Vietnam dan Thailand, serta tingginya harga bahan baku.