
Pantai Parkit Padang, Sumatra Barat, pada Senin (8/12) menampilkan pemandangan yang memilukan: ribuan gelondongan kayu raksasa masih berserakan di bibir pantainya. Tumpukan kayu ini bukan sekadar pemandangan, melainkan saksi bisu kedahsyatan banjir bandang yang menerjang Kota Padang pada Kamis (27/11) sebelumnya. Dari hulu, air bah meluap, menyapu pepohonan dengan berbagai ukuran—mulai dari batang kecil hingga gelondongan berbobot ton—menyeretnya sejauh bermil-mil hingga menumpuk di sepanjang garis Pantai Padang.
Menurut Ismaijun, salah seorang petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Padang yang ditemui usai berjibaku membersihkan sisa gelondongan kayu di Pantai Parkit pada Senin (8/12), pemandangan saat awal musibah jauh lebih parah. “Pertama kali kami turun, jumlahnya jauh lebih banyak dari ini. Sepanjang pantai ini, kayu saja isinya,” ujarnya, menggambarkan betapa luar biasanya volume material yang terbawa arus.
Dampak banjir bandang juga mengubah wajah Pantai Parkit secara drastis. Hingga Senin itu, aliran air banjir yang terus mengalir ke muara membuat warna pantai berubah kecoklatan, kontras sekali dengan keindahan air biru terang yang menjadi daya tarik utamanya sebelum bencana.
Baca juga:
- Laporan dari Agam: Duka di Kampung yang Hilang, Sepekan Setelah Banjir Bandang
- Mendagri Setop Izin Kepala Daerah ke Luar Negeri sampai 15 Januari 2026
- 17 Tewas Korban Kebakaran Gedung Terra Drone Jakarta, Diduga Korsleting Listrik
Warga setempat menunjuk bukit di atas Lubuk Minturun sebagai salah satu titik asal banjir. Analisis kasar Katadata melalui Google Earth mengungkap fakta mengejutkan: banjir tersebut menyeret gelondongan kayu raksasa sejauh 18,7 kilometer, dari lokasi banjir dan longsor di bukit atas Lubuk Minturun hingga ke bibir Pantai Parkit. Selain itu, kawasan Gunung Nago turut berperan besar dalam tragedi ini. Curah hujan ekstrem menyebabkan Sungai Gunung Nago meluap dahsyat, dengan debit air yang tak terkendali.
Suasana pascabanjir bandang di Sumatera (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/mrh/foc.)
Kekuatan banjir bandang yang luar biasa ini tak hanya mengikis, tetapi juga melebarkan dinding Sungai Gunung Nago secara signifikan, sebelum akhirnya menghantam sejumlah wilayah vital di Kota Padang. Untuk mengungkap asal-muasal kayu gelondongan yang menumpuk, Dinas Kehutanan setempat tengah melakukan investigasi mendalam. Sampel kulit kayu telah diambil dan akan dicocokkan dengan jenis pepohonan di lokasi-lokasi yang diduga menjadi titik awal banjir dan longsor.
Dampak kemanusiaan dan infrastruktur banjir bandang Padang ini tergolong parah. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (9/12), bencana ini telah menghancurkan dua ribu rumah, 24 fasilitas umum, 17 fasilitas pendidikan, lima rumah ibadah, dan dua fasilitas kesehatan serta tiga gedung. Yang paling memilukan, 11 nyawa melayang akibat musibah ini. Meskipun Kota Padang sering dilanda banjir, peristiwa akhir November ini tercatat sebagai salah satu yang terparah dalam sejarahnya. Sebagai perbandingan, laporan BNPB tahun sebelumnya menyebutkan banjir 7 Maret 2024 mengakibatkan delapan ribu warga mengungsi, merendam delapan kecamatan dengan ketinggian air hingga 1,5 meter, serta merusak 110 rumah dan satu fasilitas kesehatan (RSUP Dr. M. Djamil). Namun, banjir tersebut tidak menelan korban jiwa, menunjukkan skala kehancuran yang berbeda kali ini.
Penanganan Sampah Pasca Banjir Bandang
Menyikapi volume sampah yang fantastis, Pemerintah Kota Padang telah bergerak cepat. Total sampah pascabanjir bandang diperkirakan mencapai 3.327 ton, sebuah angka yang menjadi prioritas utama penanganan pemerintah dengan target pembersihan tuntas dalam sembilan hari. Fitra Masta, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang, merinci bahwa tumpukan ini merupakan akumulasi dari lima hari sebelumnya, mencakup sampah spesifik bencana dari permukiman terdampak, dan yang paling dominan, gelondongan kayu dalam jumlah masif yang terbawa dari hulu sungai.
Fakta menariknya, kayu gelondongan menyumbang bagian terbesar dari beban sampah ini, dengan perkiraan mencapai 1.100 ton. Namun, Fitra Masta optimistis bahwa tidak semua volume kayu tersebut perlu diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Ia menjelaskan, masyarakat di kawasan pesisir secara aktif memungut dan memanfaatkan kayu-kayu ini, bahkan pelaku usaha kecil memanfaatkannya sebagai bahan bakar produksi. Upaya kolaboratif juga dijalin dengan menyalurkan sebagian besar kayu ke PT Semen Padang sebagai bahan bakar alternatif. “Meski volumenya sangat besar, tidak semua material perlu diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA),” tegas Kepala DLH Kota Padang itu pada Senin (1/12).
Sejak awal masa pemulihan, strategi pemilahan sampah langsung di lapangan telah diterapkan oleh petugas Lembaga Pengelola Sampah dan bank sampah. Dengan mengadopsi pendekatan 3R (reduce, reuse, recycle), sebagian besar material berpotensi untuk segera dimanfaatkan kembali, mengurangi beban TPA. Dengan optimalisasi pemanfaatan ulang material, Fitra Masta yakin target ambisius penyelesaian sampah pascabencana dalam sembilan hari dapat tercapai. Mobilisasi armada pun terus ditingkatkan melalui pembagian zona penanganan yang efektif, memastikan setiap area terdampak mendapatkan intervensi yang terukur dan tepat waktu.
Masa tanggap darurat bencana diperpanjang di Sumatera Barat (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.)
Cerita Petugas DLH Bersihkan Sisa Gelondongan Kayu
Di tengah upaya pemulihan, kisah heroik para petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang patut disorot. Selama sembilan hari tanpa henti, mereka berjibaku membersihkan kayu-kayu gelondongan di pantai Padang. Meskipun demikian, tumpukan kayu masih terlihat melimpah. Di bawah terik matahari yang menyengat, belasan petugas terlihat berulang kali mengangkat batang-batang besar ke bak truk pengangkut sampah. Ismaijun, salah satu petugas DLH, mengakui ketidaktahuannya mengenai kapan pekerjaan berat ini akan tuntas, mengingat begitu masifnya sebaran kayu di sepanjang garis pantai.
Mengulang testimoninya, Ismaijun menggambarkan kondisi awal yang jauh lebih buruk: “Pertama kali kami turun, jumlahnya jauh lebih banyak dari ini. Sepanjang pantai ini, kayu saja isinya.” Ia menuturkan, jam kerja mereka membentang dari pukul delapan pagi hingga menjelang senja. Untuk mengatasi beban fisik yang luar biasa, pola kerja bergantian diterapkan, sebab menggotong kayu gelondongan yang beratnya berton-ton itu sangat menguras tenaga. Bahkan, ada rekan petugas DLH yang sampai jatuh pingsan karena kelelahan ekstrem. Namun, semangat tim tak pernah surut. “Kita tetap berjuang untuk membersihkan pantai ini,” tekadnya. Ismaijun sendiri menduga kuat bahwa gelondongan kayu ini berasal dari kawasan Bukit Barisan, khususnya di atas Lubuk Minturun. Banjir bandang yang menerjang Kota Padang telah menyeret material berukuran besar, termasuk pepohonan dari area perbukitan, hingga bermuara di pantai.