
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Asep Edi Suheri menyebutkan terduga pelaku ledakan di SMAN 72 pada Jumat (7/11), dikenal sebagai pribadi tertutup. Terduga pelaku dikategorikan sebagai anak berkonflik dengan hukum alias ABH.
“Berdasarkan keterangan yang kami himpun, ABH yang terlibat dalam kasus ledakan ini dikenal sebagai pribadi yang tertutup, jarang bergaul, serta memiliki ketertarikan pada konten kekerasan dan hal-hal ekstrem,” kata Asep saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/11).
Hasil penyelidikan sementara, ABH yang terlibat dalam ledakan itu, merupakan siswa SMA aktif yang bertindak secara mandiri dan tidak terhubung dengan jaringan teror tertentu.
Jajaran Puslabfor Mabes Polri, Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara, telah melakukan penggeledahan di rumah ABH, serta memeriksa 18 saksi yang terdiri dari para korban, baik para guru dan para siswa, yang bersangkutan, dan keluarganya.
Kondisi Korban Ledakan SMAN 72 Jakarta
Data Kepolisian menunjukkan, total korban ledakan SMAN 72 Jakarta sebanyak 96 orang. Sebanyak 67 luka ringan, 26 luka sedang, dan tiga luka berat.
Seluruh korban telah mendapatkan perawatan medis di sejumlah fasilitas kesehatan, yaitu Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Rumah Sakit Yarsi, Rumah Sakit Pertamina, Balai Kesehatan Lantamal, Puskesmas Kelapa Gading dan Rumah Sakit Polri.
“Sebanyak 68 orang di antaranya telah diperbolehkan pulang. Sedangkan 28 orang lainnya masih menjalani perawatan,” kata Asep.
Untuk 28 orang yang masih menjalani perawatan, sebanyak 13 orang di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, satu di Rumah Sakit Polri dan 14 di Rumah Sakit Yarsi.
KPAI Soroti Dampak Media Sosial pada Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI merekomendasikan sejumlah upaya, mulai dari deteksi dini, pengembangan dukungan psikososial dari sekolah, hingga penguatan regulasi dan prosedur penanganan kekerasan, sebagai upaya pencegahan paham ekstremisme pada anak.
Komisioner KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, dan Budaya Aris Adi Leksono prihatin atas peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta. “Peristiwa ini tidak hanya mencederai rasa aman di lingkungan pendidikan, tetapi juga menunjukkan adanya tantangan serius dalam membangun budaya sekolah yang ramah anak dan anti kekerasan,” katanya di Jakarta, Selasa (11/11).
Aris mengatakan, hasil pemantauan awal menunjukkan bahwa pelaku menunjukkan perubahan perilaku signifikan beberapa bulan terakhir, yakni tertutup dan lebih sering mengakses konten bernada radikal di platform digital.
Motif utama terduga pelaku diduga merupakan kombinasi antara emosi pribadi yang tidak terkendali dan internalisasi narasi ekstrim dari ruang digital yang mempengaruhi cara berpikirnya.
KPAI menyoroti peran besar media sosial dan algoritma digital dalam memperkuat bias dan mendorong perilaku intoleran di kalangan anak dan remaja. Tanpa literasi digital yang kuat, anak dapat dengan mudah terpapar konten yang mengandung kekerasan, kebencian, dan ideologi ekstrim yang dibalut dengan moralitas palsu.
Menurut dia, fenomena ‘digital grooming ideologis’ semakin marak. Anak dijadikan sasaran untuk mengadopsi pandangan ekstrim melalui interaksi daring yang tampak ramah dan edukatif.
KPAI mendorong langkah-langkah strategis, yakni:
- Penguatan sistem peringatan dini (Early Warning System) di lingkungan sekolah untuk mendeteksi dini perubahan perilaku siswa, termasuk isolasi sosial, ujaran kebencian, atau ketertarikan terhadap konten kekerasan.
- Pengembangan support system sekolah, yang melibatkan guru BK, psikolog, dan orang tua dalam membangun komunikasi terbuka dan empati terhadap peserta didik.
- Pendidikan Literasi Digital dan Anti-Kekerasan, melalui kolaborasi antara KPAI, Kemenkominfo, KemenPPPA, dan Dinas Pendidikan agar siswa mampu mengenali serta menolak konten ekstrem dan berbahaya di dunia maya
- Pemantauan dan pengawasan media sosial anak melalui peran sekolah, dengan tetap menjunjung tinggi privasi anak, namun berorientasi pada deteksi dini gejala penyimpangan perilaku daring demi kepentingan terbaik bagi anak.
- Penguatan regulasi dan SOP Penanganan Kasus Kekerasan, agar satuan pendidikan memiliki mekanisme cepat, aman, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak
KPAI menegaskan bahwa setiap anak, baik pelaku maupun korban, berhak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan kesempatan untuk pulih. Kekerasan dan faham ekstremisme bukan hanya masalah individu, tetapi cermin dari ekosistem pendidikan yang perlu diperkuat secara menyeluruh oleh keluarga, sekolah, komunitas hingga ruang digital.
KPAI telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, pihak sekolah, serta aparat kepolisian untuk memastikan proses penanganan dilakukan dengan pendekatan perlindungan anak dan pemulihan psikososial, baik terhadap korban maupun pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta.