
Penerimaan pajak neto Indonesia mencatat angka Rp 1.459,3 triliun sepanjang periode Januari hingga Oktober. Angka ini menandai penurunan sebesar 3,9% secara tahunan (year-on-year) dibandingkan dengan Rp 1.517,54 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akhirnya mengungkap faktor utama di balik tren penurunan ini.
Menurut Bimo Wijayanto, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, penurunan penerimaan pajak neto utamanya disebabkan oleh peningkatan signifikan pada restitusi pajak. Angka restitusi pajak melonjak drastis, dari Rp 249,59 triliun pada tahun lalu menjadi Rp 340,52 triliun per Oktober 2025.
Untuk diketahui, restitusi pajak merupakan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Artinya, jika perusahaan atau individu membayar jumlah pajak melebihi kewajiban yang semestinya, negara memiliki kewajiban untuk mengembalikan selisih tersebut.
Bimo Wijayanto lebih lanjut menjelaskan bahwa lonjakan restitusi pajak tercatat mencapai sekitar 36,4% secara tahunan. “Meskipun penerimaan pajak bruto sudah menunjukkan tren positif, tingginya angka restitusi menyebabkan penerimaan pajak neto secara keseluruhan tetap mengalami penurunan,” tegas Bimo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (24/11).
Adapun rincian detail restitusi pajak menunjukkan dominasi pada beberapa jenis pajak. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) menyumbang Rp 93,80 triliun, melonjak 80% secara tahunan dibandingkan Rp 52,13 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) juga mengalami kenaikan signifikan sebesar 23,9% secara tahunan, mencapai Rp 238,86 triliun. Sementara itu, kategori pajak lainnya turut naik 65,7% secara tahunan, dari Rp 4,75 triliun menjadi Rp 7,87 triliun.
“Terlihat jelas bahwa restitusi pajak didominasi oleh PPh Badan dan PPN DN, sehingga hal ini mengakibatkan koreksi pada pertumbuhan penerimaan pajak neto menjadi jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan angka penerimaan bruto,” jelas Bimo, menggarisbawahi dampak substansial dari kedua jenis pajak tersebut.
Menariknya, di balik angka penurunan penerimaan pajak neto, Bimo Wijayanto juga menyoroti adanya dampak positif dari lonjakan restitusi pajak ini. Peningkatan pengembalian pajak tersebut, kata Bimo, menandakan bahwa sejumlah besar dana kembali disalurkan ke masyarakat dan secara khusus memperkuat arus kas bagi para pelaku usaha.
“Dengan semakin tingginya jumlah restitusi pajak, kas yang diterima oleh masyarakat, termasuk dari sektor privat, akan bertambah. Kondisi ini diharapkan mampu memicu peningkatan aktivitas ekonomi dan pada gilirannya akan menggerakkan perekonomian nasional secara lebih dinamis,” pungkas Bimo, memberikan perspektif optimis terhadap fenomena ini.
Ringkasan
Penerimaan pajak neto Indonesia mengalami penurunan sebesar 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai Rp 1.459,3 triliun. Menurut Ditjen Pajak, penyebab utama penurunan ini adalah peningkatan signifikan pada restitusi pajak, yang melonjak dari Rp 249,59 triliun menjadi Rp 340,52 triliun.
Lonjakan restitusi pajak didominasi oleh PPh Badan dan PPN DN, yang mengakibatkan koreksi pada pertumbuhan penerimaan pajak neto. Meskipun demikian, Ditjen Pajak juga menyoroti dampak positif dari lonjakan restitusi ini, yaitu peningkatan arus kas bagi pelaku usaha dan potensi menggerakkan perekonomian nasional.