
JAKARTA – Prospek pasar modal Indonesia diproyeksikan akan semakin cemerlang pada tahun 2026. JP Morgan, bank investasi terkemuka asal Amerika Serikat, bahkan memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi menembus level krusial 10.000 pada tahun tersebut.
Henry Wibowo, Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Indonesia, menjelaskan bahwa optimisme ini didasari oleh beberapa faktor kunci. Pertama, berakhirnya masa transisi politik pada tahun 2025 akan membuka jalan bagi stabilitas. Kedua, peran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) diperkirakan akan semakin optimal dalam mendorong perekonomian.
“Setelah tahun transisi politik di tahun 2025, kami memperkirakan prospek ekuitas Indonesia yang lebih cerah di tahun 2026,” ujar Henry. Ia menambahkan, “Kami memperkirakan belanja Pemerintah yang lebih tinggi, baik dari anggaran fiskal maupun Danantara, akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi domestik, didukung oleh perbaikan kondisi makro global dan meredanya ketegangan geopolitik.” Pernyataan tersebut tertuang dalam laporan terbaru JP Morgan bertajuk ‘Indonesia Equity 2026 Outlook’ yang dirilis pada Selasa (2/12/2025).
Secara lebih rinci, Henry Wibowo menetapkan target dasar IHSG pada akhir tahun 2026 berada di kisaran 9.100—9.200. Proyeksi ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan laba per saham (EPS) sebesar 8 persen dan rasio harga terhadap pendapatan (P/E) sebesar 15 kali. Lebih lanjut, JP Morgan juga menyajikan skenario optimis (bull case) di level 10.000 dan skenario pesimis (bear case) di angka 7.800.
JP Morgan juga memperkirakan berlanjutnya tren pelonggaran moneter. Henry menyoroti bahwa Bank Indonesia (BI) diproyeksikan akan melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan (BI Rate) pada tahun 2026, setelah total penurunan sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang tahun 2025. “Kami memperkirakan pemangkasan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps tahun depan, didukung oleh prospek likuiditas sistem yang membaik,” jelas Henry, mengindikasikan lingkungan suku bunga yang lebih kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Dalam aspek makroekonomi lainnya, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan tetap terkendali, berada di bawah 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun demikian, JP Morgan menyoroti bahwa risiko penurunan utama terletak pada volatilitas rupiah. Depresiasi rupiah yang berkelanjutan berpotensi merusak kepercayaan pelaku bisnis dan konsumen, serta memicu arus keluar modal dari pasar domestik.
Melihat sektor-sektor kunci, JP Morgan memberikan rekomendasi overweight (OW) untuk beberapa sektor unggulan yang diprediksi akan bersinar di tahun 2026. Sektor-sektor tersebut meliputi industri, material, barang konsumsi pokok (non-siklikal), barang konsumsi diskresioner (siklikal), dan properti. Rekomendasi ini mencerminkan potensi pertumbuhan dan kinerja yang kuat dari sektor-sektor tersebut.
Bagi investor yang berfokus pada saham berkapitalisasi besar (large-cap), JP Morgan merekomendasikan lima saham teratas. Daftar ini mencakup PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Astra International Tbk (ASII), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), menunjukkan keyakinan pada fundamental dan prospek pertumbuhan perusahaan-perusahaan raksasa ini.
Mengenai partisipasi investor, sektor ritel diproyeksikan akan mempertahankan tingkat aktivitas yang tinggi pada semester pertama 2026. Partisipasi ritel domestik di pasar ekuitas, termasuk dana kuantitatif, mencapai rekor tertinggi pada semester kedua 2025, menyamai tren saat pandemi Covid-19 di tahun 2020. Ini didorong oleh minat pada perusahaan terkait konglomerat dan saham-saham yang berhubungan dengan indeks.
Henry Wibowo mencatat, “Kami memperkirakan ritel akan tetap tinggi di semester pertama 2026, dengan potensi penurunan di semester kedua 2026, tergantung pada definisi saham bebas yang disesuaikan (Adjusted Free Float) MSCI yang baru.” Perubahan definisi ini kemungkinan akan diumumkan pada kuartal pertama 2026 dan diimplementasikan pada Mei 2026, berpotensi memengaruhi dinamika pasar ritel.
Sebaliknya, arus masuk ekuitas dari investor institusional diperkirakan akan mengalami peningkatan sepanjang tahun 2026. Peningkatan ini akan didorong oleh mandat investasi publik baru dari Danantara, serta alokasi aset ekuitas yang lebih tinggi dari dana pensiun dan dana pensiun milik negara di dalam negeri, menandakan kepercayaan yang tumbuh dari institusi besar terhadap pasar domestik.
Henry Wibowo menegaskan bahwa Danantara berpotensi menjadi “peningkat nilai” yang signifikan bagi Indonesia. JP Morgan menyambut baik adanya pemisahan tugas yang jelas antara perusahaan induk Danantara (BPI Danantara), divisi Manajemen Aset (DAM), dan Manajemen Investasi (DIM). “Kami yakin bahwa pemisahan tugas kewajiban layanan publik dan dorongan profitabilitas pada perusahaan-perusahaan milik negara sangatlah penting,” ungkap Henry, menyoroti pentingnya tata kelola yang efektif.
Eksekusi peran Danantara di tahun 2026 akan menjadi katalisator krusial bagi penilaian ulang valuasi pasar dan berpotensi menjadi faktor penentu arah pasar. Pasalnya, Danantara memiliki independensi dari anggaran fiskal untuk menghasilkan pendapatan, meningkatkan pendanaan eksternal, menginvestasikan dana, dan melaksanakan belanja Pemerintah secara strategis, yang semuanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ringkasan
JP Morgan memproyeksikan pasar modal Indonesia akan semakin baik di tahun 2026, bahkan IHSG berpotensi mencapai 10.000. Optimisme ini didasari berakhirnya transisi politik 2025 dan optimalisasi peran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dalam mendorong perekonomian melalui belanja pemerintah yang lebih tinggi.
Target dasar IHSG akhir 2026 diperkirakan 9.100-9.200, dengan skenario optimis 10.000 dan pesimis 7.800. JP Morgan merekomendasikan overweight pada sektor industri, material, barang konsumsi pokok dan diskresioner, serta properti. Saham-saham yang direkomendasikan antara lain BBCA, ASII, ICBP, GOTO, dan ANTM.