Insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang diperluas ke sektor pariwisata, termasuk industri perhotelan, dinilai Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) kurang efektif. Alasannya, mayoritas pekerja di sektor ini menerima upah di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun (Rp4,5 juta per bulan) oleh Kementerian Keuangan.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menjelaskan bahwa penurunan pendapatan pekerja hotel signifikan akibat pengurangan jam kerja hingga 50% per bulan. Hal ini dilakukan oleh pengusaha untuk menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah efisiensi perjalanan dinas pemerintah. “Upah tenaga kerja industri hotel menjadi tidak penuh,” ungkap Maulana kepada Katadata.co.id, Selasa (16/9).
Lebih lanjut, Maulana menekankan bahwa masalah utama industri perhotelan bukanlah pajak, melainkan penurunan permintaan akibat efisiensi perjalanan dinas pemerintah. Kondisi ini berdampak langsung pada tingkat hunian kamar hotel yang terus merosot. Data menunjukkan rata-rata okupansi hotel nasional pada Januari-Juli 2025 mencapai 46,74%, turun dari 50,25% pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan paling drastis terjadi di Kalimantan Timur, dari 69,88% pada Juli 2024 menjadi 56,1% pada Juli 2025. Situasi ini, menurut Maulana, bahkan lebih buruk daripada masa pemulihan pasca pandemi Covid-19 di tahun 2022.
PHRI lebih memprioritaskan peningkatan permintaan melalui kegiatan Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition (MICE) di daerah sebagai stimulus yang lebih bermanfaat bagi para pekerja dibandingkan PPh 21 DTP. Maulana menjelaskan bahwa skema pengupahan di industri hospitality (horeka) unik. Sekitar 10% dari struktur harga merupakan biaya jasa dan pelayanan, yang langsung dibagikan kepada tenaga kerja. Oleh karena itu, pendapatan mereka berbanding lurus dengan tingkat okupansi hotel.
Pemerintah Perluas PPh 21 DTP
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengumumkan perluasan insentif PPh 21 DTP ke sektor pariwisata, termasuk hotel, restoran, dan kafe, dengan besaran 100% selama tiga bulan terakhir tahun pajak 2025. Program ini menargetkan 552 ribu pekerja dengan anggaran Rp120 miliar. “Yang kemarin sudah berlaku untuk sektor padat karya, ini dilanjutkan ke sektor pariwisata hotel, restoran, dan kafe,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (15/9).
Pemerintah juga mengalokasikan dana Rp480 miliar untuk implementasi insentif PPh 21 DTP sepanjang tahun 2026, yang ditujukan bagi pekerja dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan. Namun, berdasarkan pandangan PHRI, dampaknya terhadap industri perhotelan yang tengah berjuang menghadapi penurunan okupansi diragukan signifikan.
Ringkasan
Insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang diperluas ke sektor pariwisata dinilai kurang efektif oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Mayoritas pekerja hotel berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga insentif ini tidak banyak membantu. Lebih lanjut, penurunan pendapatan pekerja hotel lebih disebabkan oleh penurunan okupansi akibat efisiensi perjalanan dinas pemerintah, bukan pajak.
PHRI menilai penurunan okupansi hotel yang signifikan, hingga mencapai 46,74% pada Januari-Juli 2025, menjadi masalah utama. Mereka lebih mengutamakan peningkatan permintaan melalui kegiatan MICE sebagai solusi. Meskipun pemerintah mengalokasikan dana hingga Rp600 miliar untuk insentif PPh 21 DTP, PHRI meragukan dampak signifikannya terhadap industri perhotelan yang tengah menghadapi kesulitan.