KPPU: Batasi Stok BBM, Konsumen Kehilangan Pilihan!

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti kebijakan pemerintah yang membatasi kenaikan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi maksimal 10% dari volume penjualan tahun 2024 untuk badan usaha swasta pemilik SPBU. Keputusan ini, tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tanggal 17 Juli 2025, dinilai KPPU berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dan merugikan konsumen.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut mengancam kelangsungan usaha badan usaha (BU) swasta yang bergantung pada impor BBM non-subsidi. Akibatnya, pilihan konsumen atas produk BBM non-subsidi berkurang, serta memperkuat dominasi pasar PT Pertamina Patra Niaga. Deswin menekankan dampak negatif pembatasan ini terhadap kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat dan pelaku usaha, khususnya mengingat tren peningkatan konsumsi BBM non-subsidi yang positif.

Data KPPU menunjukkan dampak nyata pembatasan impor. Badan usaha swasta mengalami tambahan volume impor yang terbatas, berkisar antara 7.000 hingga 44.000 kiloliter, sementara PT Pertamina Patra Niaga memperoleh tambahan volume signifikan sekitar 613.000 kiloliter. Kondisi ini memperparah dominasi Pertamina yang menguasai sekitar 92,5% pangsa pasar BBM non-subsidi, sedangkan BU swasta hanya berkisar 1-3%.

KPPU menganalisis kebijakan ini menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) berdasarkan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2023. Analisis tersebut mengidentifikasi bahwa pembatasan kenaikan volume impor 10% bertentangan dengan DPKPU angka 5 huruf b, yang mengatur tentang pembatasan jumlah penjualan/pasokan barang dan/atau jasa.

Impor Satu Pintu dan Dampaknya

Selain pembatasan impor, arahan agar BU swasta membeli pasokan dari PT Pertamina Patra Niaga jika kehabisan stok, atau kebijakan impor BBM non-subsidi melalui satu pintu, juga dinilai bermasalah. Praktik ini, menurut Deswin, bersinggungan dengan DPKPU angka 6 huruf c, terkait penunjukan pemasok tertentu. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko pembatasan pasar (market foreclosure), perbedaan harga dan pasokan, diskriminasi, dan dominasi pelaku usaha tertentu. Lebih lanjut, kebijakan ini juga berdampak pada terbatasnya pemanfaatan infrastruktur BU swasta, menimbulkan inefisiensi, dan memberikan sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas.

KPPU mendorong evaluasi berkala atas kebijakan impor BBM non-subsidi untuk menciptakan iklim usaha yang seimbang bagi semua pelaku usaha. Hal ini penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan peran serta BU swasta, tanpa mengabaikan peran BUMN. KPPU menekankan pentingnya keselarasan setiap kebijakan dengan indikator dalam DPKPU, agar tercipta stabilitas energi dan neraca perdagangan migas tanpa mengorbankan persaingan usaha yang sehat dan pilihan produk bagi konsumen.

Ringkasan

KPPU mengkritik kebijakan pemerintah yang membatasi impor BBM non-subsidi maksimal 10% bagi badan usaha swasta. Kebijakan ini, tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025, dinilai KPPU merugikan konsumen karena mengurangi pilihan produk dan memperkuat dominasi Pertamina yang menguasai 92,5% pasar. Pembatasan ini juga mengancam kelangsungan usaha badan usaha swasta dan berdampak negatif terhadap perekonomian.

Analisis KPPU menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) menunjukkan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan aturan yang mengatur pembatasan jumlah penjualan/pasokan barang dan jasa, serta penunjukan pemasok tertentu. Hal ini berpotensi menimbulkan pembatasan pasar, diskriminasi, dan inefisiensi. KPPU mendorong evaluasi kebijakan impor BBM non-subsidi untuk menciptakan iklim usaha yang seimbang dan mendukung persaingan sehat.

Tinggalkan komentar