JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) secara tegas menyuarakan pentingnya kemudahan akses kredit. Desakan ini muncul sejalan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate di level 4,75%.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menjelaskan bahwa kebijakan moneter bank sentral tersebut tidak lepas dari pertimbangan cermat terhadap kinerja nilai tukar rupiah, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Data terkini dari BI menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah pada Selasa (21/10/2025) sempat menguat 0,45% mencapai Rp16.585 per dolar AS, dibandingkan posisi akhir September 2025. Meskipun demikian, secara bulanan, kinerja mata uang Garuda pada September 2025 tercatat melemah 1,05% dibandingkan bulan sebelumnya, Agustus 2025.
Menyikapi hal ini, Shinta menegaskan kepada Bisnis pada Rabu (22/10/2025) bahwa kebijakan tersebut masih sangat selaras dengan pertimbangan makroprudensial ekonomi Indonesia. “Terutama dalam konteks potensi pelemahan nilai tukar yang masih relatif tinggi,” tambahnya.
Namun, Shinta juga mengakui adanya ironi: meskipun suku bunga acuan berada di level rendah, hal tersebut belum sepenuhnya mampu menggerakkan geliat sektor riil. Alasannya, menurutnya, adalah masih adanya kendala fundamental pada akses kredit. Ia menekankan perlunya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan dana untuk kredit, di samping relaksasi ketentuan dan penilaian risiko kredit oleh pihak perbankan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa untuk menciptakan quantitative easing yang efektif bagi sektor riil, relaksasi ketentuan dan penilaian risiko kredit oleh perbankan merupakan instrumen krusial. Tujuannya adalah agar perbankan dapat menyalurkan lebih banyak kredit, termasuk kepada para peminjam dengan persepsi risiko yang sedikit lebih tinggi seperti pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Data dari Bank Indonesia sendiri memperkuat argumen ini. Sepanjang tahun ini, penurunan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps) ternyata belum secara signifikan berdampak pada penurunan suku bunga kredit perbankan. Faktanya, suku bunga kredit hanya turun tipis 15 bps, dari 9,2% di awal tahun menjadi 9,05% pada September 2025.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Shinta menegaskan bahwa penurunan suku bunga acuan saja tidaklah cukup untuk mendorong pergerakan roda perekonomian. Ia menguraikan, jika ketiga faktor penting—yakni suku bunga yang kompetitif, ketersediaan dana, dan relaksasi ketentuan kredit—dapat dijalankan secara serentak dan konsisten, dampak percepatan ekonomi diprediksi dapat terlihat dalam kurun waktu 3 hingga 6 bulan, dan berlanjut lebih lama.
Namun, Shinta juga mengingatkan bahwa upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya bertumpu pada sisi pembiayaan semata. Tantangan utama saat ini, menurutnya, justru bersumber dari meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dan sulitnya memprediksi arah iklim usaha (unpredictability), baik di tingkat domestik maupun global.
“Stimulasi pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan sisi financing,” tegasnya. “Kelesuan ekonomi yang terasa saat ini lebih diakibatkan oleh meningkatnya ketidakpastian dan sulitnya memprediksi arah iklim usaha, sehingga banyak pelaku usaha memilih untuk menahan diri dan tidak melakukan ekspansi.”
Dalam menghadapi kondisi ini, Shinta mendorong pemerintah untuk mengambil langkah konkret dengan meningkatkan efisiensi biaya berusaha, mempercepat proses deregulasi, dan memangkas birokrasi perizinan usaha. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat kepercayaan pelaku usaha dan investor. Terkait strategi ekspansi ke depan, Apindo mengamati bahwa sebagian besar pelaku usaha cenderung lebih memilih untuk memperkuat bisnis inti mereka dan menjaga pangsa pasar yang sudah dimiliki.
“Banyak perusahaan kini beralih membentuk konsorsium guna memitigasi risiko usaha, atau mengadopsi teknologi canggih untuk meningkatkan produktivitas tanpa harus menambah beban tenaga kerja secara berlebihan,” pungkasnya.
Ringkasan
Apindo mendesak kemudahan akses kredit meskipun BI mempertahankan suku bunga acuan di level 4,75%. Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa suku bunga rendah belum cukup menggerakkan sektor riil karena kendala akses kredit. Ia menekankan pentingnya ketersediaan dana, relaksasi ketentuan, dan penilaian risiko kredit oleh perbankan.
Shinta menambahkan bahwa penurunan suku bunga acuan sebesar 150 bps belum signifikan menurunkan suku bunga kredit perbankan. Ia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi juga terkendala oleh ketidakpastian iklim usaha, sehingga pelaku usaha menahan ekspansi. Apindo mendorong pemerintah meningkatkan efisiensi biaya berusaha, deregulasi, dan memangkas birokrasi.