Sponsored

Gen Z Menganggur: 16 Pencari Kerja Rebutan 1 Lowongan!

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti secara mendalam isu krusial terkait ketimpangan signifikan antara permintaan dan pasokan tenaga kerja di Indonesia. Fenomena ini diidentifikasi sebagai akar penyebab melonjaknya angka pengangguran di kalangan Generasi Z, yang kini menanggung beban hingga 67% dari total pengangguran terbuka di tanah air.

Sponsored

Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, mengungkapkan data yang menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Setiap tahun, pembukaan lapangan kerja hanya berkisar antara 2 juta hingga 4,5 juta posisi. Ironisnya, angka pengangguran terbuka saat ini sudah mencapai 9 juta orang. Kondisi ini diperparah dengan terus bertambahnya angkatan kerja baru sebanyak 2 juta hingga 4 juta orang setiap tahunnya, menciptakan tekanan yang luar biasa pada pasar kerja.

“Realitas ini dengan jelas membuktikan betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Rasio antara lapangan kerja yang tersedia dan jumlah pencari kerja telah meningkat drastis, dari 1:3 menjadi 1:16,” tegas Shinta di Jakarta Selatan, Rabu (5/11), menyoroti ketidakseimbangan yang kian parah.

Tingginya rasio pencari kerja ini tercermin nyata dari minat masyarakat terhadap program Magang Nasional. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa peminat program ini mencapai angka fantastis 160.000 orang, padahal kuota peserta yang tersedia hanya untuk 20.000 orang. Disparitas ini menunjukkan adanya kebutuhan besar akan pengalaman kerja dan peluang bagi para pencari kerja.

Apindo mengakui bahwa peningkatan investasi adalah kunci vital untuk menggenjot penciptaan lapangan kerja baru. Namun, Shinta Kamdani berargumen bahwa pemerintah juga harus memfokuskan perhatian pada peningkatan kualitas pekerjaan di sektor informal. Hal ini menjadi krusial mengingat tren yang berkembang di masyarakat.

Shinta menemukan bahwa sebagian besar dari mereka yang tergolong pengangguran terbuka justru memilih untuk berkarier di sektor informal, seperti menjadi pengemudi ojek daring atau pekerjaan lepas lainnya. Fenomena ini telah menyebabkan kontribusi penyerapan tenaga kerja di sektor informal melonjak hingga 60% pada tahun ini, menegaskan perannya yang tak terbantahkan dalam menopang perekonomian.

Lebih lanjut, Shinta menyoroti definisi “orang bekerja” menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengategorikan individu dengan minimal 1 jam kerja per minggu sebagai pekerja. Definisi ini pada akhirnya menyebabkan pekerja lepas, meskipun dengan pendapatan yang mungkin tidak stabil, tidak termasuk dalam kategori pengangguran terbuka. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pekerjaan informal ini juga memiliki kualitas yang layak.

“Kita wajib memberikan perhatian serius pada angkatan kerja yang merambah sektor informal. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat benar-benar meningkatkan kualitas pekerjaan mereka agar lebih bermartabat dan berkelanjutan?” ujar Shinta, menegaskan urgensi isu tersebut.

Di sisi lain, Shinta melihat Program Magang Nasional sebagai sebuah peluang emas untuk menciptakan lapangan kerja yang layak di tahun mendatang. Dengan adanya insentif bagi perusahaan yang bersedia melakukan ekspansi jika peserta magang menunjukkan evaluasi kinerja yang baik, program ini dapat menjadi jembatan menuju pekerjaan yang lebih berkualitas.

“Semakin banyak perusahaan perlu memanfaatkan Program Magang Nasional ini. Namun, para pengusaha juga harus senantiasa menyadari bahwa kunci utama penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan layak adalah melalui investasi yang berkelanjutan,” tambah Shinta, memberikan perspektif komprehensif.

Menanggapi animo yang tinggi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah akan kembali membuka program Magang Nasional untuk 100.000 orang pada tahun depan. Keputusan ini diambil setelah melihat animo pendaftar yang membludak pada gelombang pertama, yang hanya menyediakan kuota untuk 20.000 orang.

Airlangga mencatat, dalam waktu sekitar sebulan terakhir, hampir 160.000 lulusan perguruan tinggi mendaftar dalam program tersebut. Data ini menunjukkan rasio pendaftar dan lowongan kerja yang sangat timpang, bahkan mencapai 1:200 untuk beberapa posisi, menggarisbawahi tantangan besar dalam penyerapan lulusan.

“Berdasarkan data yang ada, kami akan kembali meluncurkan Program Magang Nasional pada tahun depan. Kami sangat berharap perusahaan dapat membuka lebih banyak lowongan di sektor digital, mengingat proyeksi kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut akan mencapai 9 juta orang pada tahun 2030,” kata Airlangga dalam pembukaan Gelombang Pertama Program Magang Nasional, Senin (20/10), menekankan fokus strategis pemerintah.

Airlangga juga menyampaikan bahwa Program Magang Nasional akan menjadi kegiatan rutin yang diinisiasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Dengan demikian, ia memberikan sinyal kuat bahwa total kuota program pada tahun depan berpotensi untuk melebihi angka 100.000 orang, menunjukkan komitmen jangka panjang pemerintah.

Sebagai politikus Partai Golkar, Airlangga Hartarto memandang program Magang Nasional ini sebagai instrumen vital untuk menjembatani kesenjangan antara pasokan angkatan kerja dan kebutuhan riil perusahaan. Program ini dinilai efektif dalam membekali lulusan perguruan tinggi dengan pengalaman kerja praktis, sesuatu yang selama ini kerap menjadi kelemahan mereka saat memasuki dunia profesional.

Ringkasan

Apindo menyoroti ketimpangan antara permintaan dan pasokan tenaga kerja sebagai penyebab tingginya pengangguran Gen Z, mencapai 67% dari total pengangguran terbuka. Data menunjukkan rasio pencari kerja dan lapangan kerja meningkat drastis, dari 1:3 menjadi 1:16. Minat tinggi terhadap program Magang Nasional, dengan 160.000 pendaftar untuk 20.000 kuota, mengindikasikan kebutuhan besar akan pengalaman kerja.

Peningkatan investasi penting untuk menciptakan lapangan kerja, namun Apindo juga menekankan kualitas pekerjaan di sektor informal, yang menyerap 60% tenaga kerja. Pemerintah berencana membuka kembali Program Magang Nasional untuk 100.000 orang tahun depan, dengan fokus pada sektor digital yang diperkirakan membutuhkan 9 juta tenaga kerja pada tahun 2030. Program ini diharapkan menjadi jembatan antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan perusahaan.

Sponsored