APBN 2026: Anggaran Daerah Tembus Rp692,99 Triliun!

Pemerintah merespon polemik penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Awalnya, RAPBN 2026 mengalokasikan TKD sebesar Rp 649,995 triliun, turun sekitar 24,7% dari tahun 2025. Penurunan ini memicu kontroversi di berbagai daerah, terutama karena berdampak pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Namun, setelah rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyepakati kenaikan alokasi TKD. Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, mengumumkan kenaikan anggaran TKD menjadi Rp 692,995 triliun, atau naik Rp 43 triliun. Kenaikan ini, menurut Said, merupakan respons atas permintaan berbagai komisi DPR yang melihat pemangkasan TKD sebelumnya berkontribusi pada kenaikan PBB di beberapa daerah.

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan penyesuaian anggaran ini juga mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya menjaga stabilitas sosial dan politik di daerah dalam jangka pendek. Purbaya juga memastikan manfaat APBN bagi daerah tetap terjaga, bahkan berjanji untuk memonitor belanja daerah agar tidak mengalami keterlambatan seperti sebelumnya.

Kenaikan PBB yang signifikan di beberapa daerah, seperti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, telah memicu protes masyarakat. Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menjelaskan bahwa kenaikan PBB terkait erat dengan tekanan keuangan yang dialami pemerintah daerah akibat berkurangnya TKD dan meningkatnya beban belanja wajib. Kondisi ini memaksa kepala daerah mencari sumber pendapatan baru, salah satunya dengan menaikkan PBB.

Syafruddin menilai protes warga beralasan karena kebijakan fiskal yang tidak proporsional dan adil. Ia memperingatkan bahwa ketidakseimbangan ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah daerah dan meningkatkan risiko instabilitas sosial. Menurutnya, kenaikan PBB yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik langsung membebani daya beli masyarakat, sementara perbaikan infrastruktur masih belum optimal.

Senada dengan Syafruddin, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan bahwa keterbatasan anggaran daerah merupakan masalah umum di Indonesia. Hanya sebagian kecil daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang sehat.

Baca juga:

  • Kemenkeu Masih Kaji Tarif Cukai Rokok 2026, Apakah Akan Naik?
  • Prabowo Ubah Program Kerja 2025, Ada Kenaikan Gaji ASN hingga Pejabat
  • Perpecahan Internal Sebabkan Uni Eropa Tak Mampu Penuhi Tenggat Target Iklim

Ringkasan

RAPBN 2026 awalnya mengalokasikan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp 649,995 triliun, namun kemudian dinaikkan menjadi Rp 692,995 triliun setelah rapat kerja bersama Banggar DPR. Kenaikan Rp 43 triliun ini merespon protes atas penurunan TKD sebelumnya yang berdampak pada kenaikan PBB di beberapa daerah dan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah.

Penyesuaian anggaran ini bertujuan menjaga stabilitas sosial dan politik di daerah. Pemerintah berjanji memonitor belanja daerah agar tidak mengalami keterlambatan. Kenaikan PBB yang signifikan di beberapa daerah memicu protes karena dianggap membebani masyarakat tanpa diimbangi peningkatan layanan publik yang signifikan, mencerminkan masalah umum keterbatasan anggaran daerah di Indonesia.

Tinggalkan komentar