Sponsored

BI Rate Dipangkas: Rupiah Terancam? Analis Ungkap Risikonya

JAKARTA – Kebijakan agresif Bank Indonesia (BI) dalam memangkas suku bunga acuan atau BI Rate memunculkan kekhawatiran serius akan risiko depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Fokus pasar kini tertuju pada pengumuman keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang dinantikan hari ini.

Sponsored

Rully Arya Wisnubroto, Kepala Ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menyoroti keputusan Bank Indonesia dari hasil Rapat Dewan Gubernur yang telah diselenggarakan pada 21 dan 22 Oktober 2025. Berdasarkan survei terhadap 34 ekonom, mayoritas (25 ekonom) memprediksi BI akan kembali menurunkan suku bunga pada RDG Oktober 2025. Namun, sembilan ekonom lainnya, termasuk tim dari Mirae Asset Sekuritas, berpandangan bahwa BI Rate akan dipertahankan pada level 4,75%. “Kami termasuk yang berpandangan bahwa BI Rate hari ini tetap pada 4,75%,” tegas Rully dalam riset terbarunya, Rabu (22/10/2025).

Argumen untuk mempertahankan suku bunga acuan tersebut didasarkan pada beberapa faktor krusial. Rully menjelaskan, Bank Indonesia telah cukup agresif dalam memangkas suku bunga sepanjang siklus pelonggaran moneter saat ini. Ditambah lagi, likuiditas pasar menunjukkan kondisi yang sangat berlimpah, tercermin dari penempatan dana SAL pemerintah senilai Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) serta penurunan signifikan jumlah Surat Berharga Retail Indonesia (SRBI) yang beredar.

Operasi pasar terbuka harian BI juga menunjukkan volume yang tinggi, bahkan sempat menyentuh angka Rp1.100 triliun. Fenomena ini turut diiringi oleh tren penurunan suku bunga antarbank dan suku bunga deposito bertenor satu bulan. Kondisi melimpahnya likuiditas ini juga mendorong imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terus melandai, bahkan selama beberapa hari terakhir telah berada di bawah level 6%. Menariknya, penurunan imbal hasil SBN ini terjadi meskipun investor asing secara konsisten mengurangi kepemilikan mereka atas SBN.

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Hari Ini, Rabu 22 Oktober 2025

Di tengah dinamika tersebut, Rully menegaskan bahwa kondisi ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah yang cenderung mengalami depresiasi sepanjang Oktober. “Kami masih melihat adanya risiko depresiasi apabila BI terlalu agresif menurunkan suku bunga, sebanyak 150 bps sejak September 2024,” tambahnya. Depresiasi rupiah ini bukan tanpa konsekuensi. Menurut Rully, salah satu dampaknya adalah penurunan signifikan pada cadangan devisa Indonesia yang mencapai US$3,8 miliar dalam tiga bulan terakhir, mengindikasikan tekanan terhadap stabilitas mata uang nasional.

Mengacu pada data Bloomberg per Selasa (21/10/2025) hingga pukul 09.02 WIB, rupiah dibuka melemah 15 poin atau 0,09%, mencapai level Rp16.587 per dolar AS. Di saat yang sama, indeks dolar AS juga mengalami depresiasi sebesar 0,02%, bergerak menuju posisi 98,91. Secara lebih luas, sepanjang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mata uang rupiah telah menunjukkan pelemahan signifikan sebesar 6,9%, dari posisi Rp15.504 per dolar AS pada 21 Oktober 2024.

Lebih jauh, Rully menyoroti lambatnya transmisi kebijakan moneter BI ke sektor perbankan. Ia mengamati bahwa bank-bank belum merespons penurunan BI Rate dan suku bunga antarbank secara proporsional terhadap suku bunga deposito dan kredit. Sejak dimulainya siklus pelonggaran moneter pada September 2024, suku bunga deposito berjangka satu bulan hanya turun 36,3 basis poin (bps) dan suku bunga kredit turun 24,6 bps. Penurunan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan pemangkasan BI Rate sebesar 150 bps dan penurunan suku bunga interbank overnight sebesar 240 bps, menunjukkan adanya hambatan dalam penyaluran stimulus moneter ke perekonomian riil.

“Hal ini jelas mengindikasikan bahwa transmisi kebijakan moneter masih berjalan lambat. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa penurunan BI Rate lanjutan sebanyak 25 bps tidak akan memberikan banyak manfaat substantif bagi perekonomian, dan justru berpotensi besar untuk semakin menambah risiko depresiasi nilai tukar rupiah,” pungkas Rully, memberikan peringatan akan potensi konsekuensi dari kebijakan yang terlalu agresif.

U.S. DOLLAR / INDONESIAN RUPIAH – TradingView

Ringkasan

Artikel ini membahas kekhawatiran akan depresiasi rupiah akibat kebijakan Bank Indonesia (BI) yang agresif dalam memangkas suku bunga acuan. Kepala Ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, berpendapat bahwa mempertahankan BI Rate pada level 4,75% lebih bijak mengingat likuiditas pasar yang melimpah dan transmisi kebijakan moneter yang lambat ke sektor perbankan.

Rully menegaskan bahwa penurunan BI Rate berpotensi memperburuk depresiasi rupiah, yang telah melemah signifikan dalam setahun terakhir. Ia menyoroti bahwa meskipun BI Rate telah dipangkas 150 bps sejak September 2024, penurunan suku bunga deposito dan kredit belum sepadan, menunjukkan hambatan dalam penyaluran stimulus moneter ke perekonomian riil. Lebih lanjut, depresiasi rupiah ini telah menyebabkan penurunan cadangan devisa Indonesia.

Sponsored