
Ribuan orang diperkirakan membanjiri jalanan Kota Belem pada Sabtu (15/11) dalam sebuah aksi demonstrasi masif, menuntut “solusi nyata” dan konkret terhadap krisis pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aksi ini berlangsung tepat di tengah Konferensi Iklim PBB (COP30) yang diselenggarakan di kota tersebut, pada saat negosiasi iklim antarnegara sedang berada di titik paling krusial dan sengit.
Dijuluki “Great People’s March”, atau Pawai Rakyat Akbar, demonstrasi damai ini hadir setelah dua protes sebelumnya oleh masyarakat adat di awal pekan, yang sempat menimbulkan gejolak dan mengganggu jalannya konferensi penting tersebut.
Barisan peserta aksi sangat beragam, terdiri dari masyarakat adat, nelayan, kelompok pemuda, hingga para pekerja yang peduli. Mereka berkumpul di pasar lokal pada pukul 07.30 waktu setempat dan memulai perjalanan sekitar 4,5 kilometer, berhenti beberapa blok sebelum kompleks utama COP30, mengirimkan pesan yang kuat kepada para pemimpin dunia.
“Kami menuntut reparasi atas kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh korporasi dan pemerintah, terutama yang berdampak pada komunitas yang terpinggirkan,” tegas Iury Paulino, anggota tim koordinasi aksi dari Movement of People Affected by Dams, seperti dikutip dari Bangkok Post, Sabtu (15/11). Ia juga menambahkan bahwa secara historis, rakyatlah yang selalu menjadi inisiator dalam membangun solusi nyata. Gerakan ini bertujuan untuk menyuarakan kecaman keras terhadap krisis iklim sekaligus menyampaikan proposal konkrit kepada dunia.
Meskipun rute pawai tidak melewati langsung area konferensi, aparat keamanan tetap diberlakukan siaga tinggi. Sebelumnya, pada Selasa, sekelompok demonstran adat sempat memaksa masuk ke area Parque da Cidade, lokasi COP30 yang dibangun di bekas bandara, dan terlibat bentrok ringan dengan petugas keamanan. Insiden tersebut mengakibatkan sejumlah petugas mengalami luka ringan. Kemudian pada Jumat, puluhan demonstran adat kembali memblokade pintu masuk selama dua jam, secara khusus menyoroti perjuangan berat yang mereka alami di Amazon.
Baca juga:
- Dukung Transisi Energi, Pupuk Indonesia Andalkan Tiga Pilar Strategi
- BRI Berdayakan UMKM Demi Akselerasi Pemerataan Ekonomi Nasional
- Hari Ketiga Pencarian Korban Longsor Cilacap: 6 Meninggal, 17 Masih Hilang
Negosiasi COP30 di Titik Kritis
Di dalam lokasi konferensi, suasana pembahasan terasa lebih hati-hati dan penuh perhitungan. Menjelang akhir pekan pertama, presidensi COP30 yang dipegang oleh Brasil dijadwalkan memaparkan strategi konkret untuk menjembatani berbagai tuntutan dan perbedaan pandangan di antara negara-negara peserta.
Isu-isu krusial yang menjadi sorotan utama mencakup lemahnya target iklim global, pentingnya pendanaan yang memadai dari negara-negara kaya ke negara-negara berkembang untuk meningkatkan ketahanan iklim, serta percepatan transisi menuju ekonomi rendah emisi demi masa depan yang lebih berkelanjutan.
Perdebatan sengit juga mengemuka mengenai trade barriers seperti pajak karbon perbatasan yang diusulkan Uni Eropa, dan pertanyaan fundamental apakah COP perlu menetapkan target serta tenggat waktu yang jelas untuk mengakhiri ketergantungan pada energi fosil secara bertahap.
Sejumlah pihak menilai bahwa negosiasi iklim ini masih tertahan, seolah menunggu kedatangan para menteri pada pekan depan yang diharapkan dapat merampungkan kesepakatan-kesepakatan penting sebelum konferensi ditutup pada 21 November. “Kalau presidensi tidak mengambil alih kepemimpinan yang kuat, COP ini bisa berakhir tanpa hasil yang substansial,” ujar seorang negosiator dari Afrika, menyampaikan kekhawatirannya.
Namun, di tengah keraguan, pandangan optimistis juga tetap muncul. “Para pihak datang ke sini dengan komitmen kuat untuk menghasilkan hasil positif dari COP ini,” kata Sekjen Kementerian Jerman, Jochen Flasbarth. Seorang diplomat Barat menambahkan, presidensi Brasil secara aktif mendorong negara-negara peserta untuk memperlakukan konsultasi mereka sebagai “sesi terapi” atau ruang aman untuk secara terbuka menyampaikan segala kekhawatiran yang ada.
Delegasi juga diminta untuk mengirimkan masukan tertutup mengenai perkembangan pembahasan, sebuah pendekatan unik yang oleh Brasil disebut sebagai “love letters”. “Negosiasi ini ibarat roller coaster, kadang naik, kadang turun, penuh dinamika,” ujar Kepala Negosiator Brasil, Liliam Chagas, menggambarkan kompleksitas proses diplomasi iklim tersebut.
Ringkasan
Ribuan orang melakukan demonstrasi di Belem saat berlangsungnya Konferensi Iklim PBB (COP30), menuntut solusi nyata terhadap krisis pemanasan global. Aksi damai “Great People’s March” ini diikuti oleh beragam elemen masyarakat, termasuk masyarakat adat, nelayan, dan pemuda, yang menyampaikan pesan kuat kepada para pemimpin dunia terkait kerusakan lingkungan.
Di dalam COP30, negosiasi iklim mencapai titik krusial dengan fokus pada target iklim global, pendanaan untuk negara berkembang, transisi ke ekonomi rendah emisi, dan penghapusan energi fosil. Meskipun ada kekhawatiran negosiasi berjalan lambat, presidensi Brasil berupaya menjembatani perbedaan dan mendorong kesepakatan yang substansial sebelum penutupan konferensi.