PT Pupuk Indonesia (Persero) terus memperkuat komitmennya sebagai garda terdepan dalam transisi energi dan upaya dekarbonisasi di industri pupuk nasional. Sebagaimana sering ditekankan oleh Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, perusahaan BUMN ini memegang teguh keyakinan bahwa inisiatif membangun ketahanan pangan dapat berjalan selaras dengan pembangunan industri yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Penegasan akan komitmen ini kembali disampaikan oleh Direktur Operasi Pupuk Indonesia, Dwi Satriyo Annurogo, dalam ajang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, pada Rabu (12/11/2025). Dwi Satriyo menggarisbawahi pentingnya keterkaitan antara berbagai isu global, menyatakan, “Tidak ada ketahanan iklim tanpa ketahanan pangan, dan tidak ada ketahanan pangan tanpa industri yang bertanggung jawab.” Pernyataan ini menegaskan visi holistik Pupuk Indonesia dalam menghadapi tantangan keberlanjutan.
Menurut Dwi, strategi jangka panjang perusahaan untuk dekarbonisasi berpusat pada tiga pilar utama: transisi menuju amonia bersih (clean ammonia), implementasi ekonomi sirkular, serta pengembangan solusi berbasis alam (nature-based solutions). Pupuk Indonesia, dengan kapasitas produksi amonia sekitar 7 juta ton per tahun, menyadari peran ganda amonia yang tidak hanya esensial sebagai bahan baku pupuk untuk tanaman, tetapi juga sebagai pembawa hidrogen (hydrogen carrier) yang vital bagi energi masa depan.
Menjelaskan lebih lanjut, perusahaan telah menyusun peta jalan dekarbonisasi yang ambisius hingga tahun 2050. Proyeksi menunjukkan bahwa kapasitas grey ammonia (amonia konvensional) akan menurun drastis dari 92,96 persen pada tahun 2030 menjadi hanya 13,93 persen pada tahun 2050. Penurunan ini akan diimbangi dengan peningkatan produksi blue ammonia, yang akan dikembangkan hingga tahun 2045, serta green ammonia, yang menjadi fokus pengembangan pasca-2045.
Langkah awal dekarbonisasi Pupuk Indonesia difokuskan pada peningkatan efisiensi operasional dan peralihan bahan bakar dari batubara ke gas alam pada pabrik-pabrik yang sudah ada. Selanjutnya, perusahaan akan bertransformasi ke produksi blue ammonia dengan mengintegrasikan teknologi carbon capture and storage (CCS) untuk menangkap emisi CO2. Sementara itu, amonia hijau akan diproduksi melalui elektrolisis air yang memanfaatkan sepenuhnya energi terbarukan, seperti panel surya. “Dalam jangka panjang, untuk mengalihkan dan tetap memperluas kapasitas kami, kami akan berfokus ke amonia hijau, produk hijau di masa depan,” tambah Dwi, menunjukkan arah strategis Pupuk Indonesia.
Sebagai wujud nyata dari komitmen ini, Pupuk Indonesia telah meluncurkan dua proyek perintis hybrid green ammonia. Proyek Green Ammonia Initiative Aceh (GAIA), misalnya, memiliki kapasitas 142 ton metrik per hari (MTPD) dan merupakan kolaborasi strategis dengan Pupuk Sriwidjaja Palembang, TOYO, dan Itochu. Proyek kedua adalah Garuda Green H2 di Jawa Timur dengan kapasitas 250 MTPD, bekerja sama dengan ACWA Power. Kedua proyek inovatif ini memanfaatkan energi surya dan renewable energy certificate (REC) untuk menekan emisi karbon secara signifikan.
Ekonomi Sirkular dan Solusi Berbasis Alam
Selain transformasi produksi amonia, Pupuk Indonesia juga aktif dalam menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Inisiatif ini mencakup pemulihan energi, reduksi emisi CO2, dan pengembangan simbiosis industri yang saling menguntungkan. Berbagai inovasi telah diimplementasikan, termasuk pemanfaatan fly ash sebagai filler dan coating agent pada pupuk NPK, konversi CO2 menjadi soda ash, CO2 cair, dan dry ice, serta optimalisasi pemanfaatan gas buang. “Kami melakukan beberapa inovasi teknologi. Kami memulihkan energi dan mengurangi emisi CO2 dan juga simbiosis industri,” jelas Dwi.
Dari inisiatif ekonomi sirkular ini, Pupuk Indonesia telah mencatat kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi, dengan estimasi sekitar 2,28 juta ton CO2e per tahun. Selain manfaat lingkungan, langkah-langkah ini juga menghasilkan penghematan biaya atau pendapatan tambahan yang diperkirakan mencapai US$25,70 juta setiap tahun, membuktikan bahwa keberlanjutan dapat sejalan dengan efisiensi ekonomi.
Tak hanya itu, Pupuk Indonesia juga memiliki inisiatif solusi berbasis alam (nature-based solution/NBS) yang krusial dalam mencapai target nol emisi bersih (net-zero emission/NZE) pada tahun 2050. Program ini tidak hanya berfokus pada penyerapan karbon, tetapi juga meluas pada restorasi ekosistem, peningkatan ketahanan air, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Program berbasis alam ini mencakup rehabilitasi mangrove di Kalimantan Timur serta agroforestri di Blora, Jawa Tengah. Dalam implementasinya, Pupuk Indonesia berkolaborasi erat dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) serta TNI AD melalui program Agroforestry Carbon Alliance. Saat ini, program telah berhasil mengimplementasikan sekitar 200 hektare, dengan target perluasan hingga 1.000 hektare pada akhir tahun 2025, dan ambisi besar mencapai 365.000 hektare pada tahun 2050. Potensi serapan karbon dari program ini diperkirakan mencapai sekitar 1,7 juta ton CO₂ ekuivalen. “Kami memiliki target dalam proyek penanaman tahun ini seluas 1.000 hektare untuk tahun 2025 untuk penanaman,” tutup Dwi, menegaskan keseriusan Pupuk Indonesia dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau.
Ringkasan
PT Pupuk Indonesia (Persero) memperkuat komitmennya dalam transisi energi dan dekarbonisasi melalui tiga pilar utama: transisi menuju amonia bersih, implementasi ekonomi sirkular, dan pengembangan solusi berbasis alam. Perusahaan menyadari peran penting amonia sebagai bahan baku pupuk dan pembawa hidrogen untuk energi masa depan. Pupuk Indonesia menargetkan penurunan drastis grey ammonia dan peningkatan produksi blue dan green ammonia hingga tahun 2050.
Pupuk Indonesia telah meluncurkan proyek perintis hybrid green ammonia dan menerapkan prinsip ekonomi sirkular yang mencakup pemulihan energi dan reduksi emisi CO2. Perusahaan juga memiliki inisiatif solusi berbasis alam seperti rehabilitasi mangrove dan agroforestri untuk mencapai target nol emisi bersih pada tahun 2050, dengan target penanaman 1.000 hektare pada tahun 2025 dan potensi serapan karbon sekitar 1,7 juta ton CO₂ ekuivalen.