Energi panas bumi, atau yang sering disebut geotermal, semakin mengemuka sebagai solusi paling menjanjikan dalam upaya transisi energi Indonesia. Kemampuannya yang unik sebagai base load menjadikannya unggul di antara jenis energi terbarukan lainnya. Sebagaimana disampaikan oleh Eka Satria, Direktur Utama Medco Power Indonesia, geotermal mampu menyediakan pasokan listrik secara konstan dan stabil, sebuah keunggulan signifikan dibandingkan pembangkit energi surya atau angin yang cenderung intermiten.
Pernyataan Eka Satria ini menyoroti permasalahan krusial yang dihadapi Indonesia saat ini: kebutuhan akan pengganti base load yang andal. Dalam diskusi di sela-sela forum Singapore International Energy Week (SIEW) 2025, ia menegaskan bahwa geotermal hadir sebagai jawaban yang tepat untuk tantangan tersebut.
Medco Power Indonesia, di bawah kepemimpinan Eka, telah membuktikan potensi ini melalui operasional dua pembangkit geotermal andal. Di Sarulla, Sumatera Utara, perusahaan mengelola unit berkapasitas 330 megawatt (MW) dengan tingkat keandalan penggunaan (reliability usage) yang mengesankan, yaitu di atas 95%. Selain itu, pembangkit geotermal di Ijen, Jawa Timur, kini beroperasi dengan kapasitas terpasang 35 MW. Tak berhenti di situ, komitmen terhadap pengembangan energi panas bumi juga terlihat dari eksplorasi yang sedang berlangsung di Bonjol dan Samosir, Sumatera Utara.
Namun, di balik prospek cerah ini, pengembangan pembangkit geotermal di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah kendala signifikan. Eka Satria menjelaskan bahwa tantangan utama meliputi lokasi potensi geotermal yang umumnya berada di daerah terpencil. Kondisi geografis ini menuntut pembangunan infrastruktur transmisi jaringan listrik yang memadai, yang pada gilirannya memerlukan investasi besar.
Permasalahan ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sebelumnya. Ia menyoroti bahwa Indonesia baru memanfaatkan sekitar 10% dari total cadangan geotermal nasional yang luar biasa besar, mencapai 27 gigawatt (GW). Minimnya pemanfaatan ini disebabkan oleh tingginya biaya belanja modal (capital expenditure) serta kerumitan regulasi yang masih menjadi penghalang serius, sehingga membuat para investor enggan berinvestasi di sektor geotermal.
Selain itu, keterbatasan jaringan transmisi listrik turut memperparah kondisi. Banyak lokasi dengan potensi geotermal yang melimpah belum terintegrasi dengan jaringan listrik nasional, mengakibatkan kesulitan bagi pengembang untuk mendistribusikan dan menjual listrik yang dihasilkan. Dengan demikian, masih ada 90% dari potensi geotermal yang belum termanfaatkan, padahal sumber daya ini merupakan energi masa depan yang krusial bagi keberlanjutan energi Indonesia.
Ringkasan
Energi panas bumi (geotermal) muncul sebagai solusi transisi energi Indonesia karena kemampuannya sebagai base load yang stabil, berbeda dengan energi terbarukan seperti surya dan angin yang intermiten. Medco Power Indonesia telah membuktikan potensi ini melalui pembangkit geotermal di Sarulla (330 MW) dan Ijen (35 MW), dengan eksplorasi yang sedang berlangsung di Bonjol dan Samosir.
Meskipun menjanjikan, pengembangan geotermal di Indonesia menghadapi tantangan seperti lokasi terpencil yang membutuhkan investasi besar untuk infrastruktur transmisi. Menteri ESDM menyoroti bahwa baru 10% dari potensi geotermal nasional (27 GW) yang dimanfaatkan karena biaya tinggi, regulasi rumit, dan keterbatasan jaringan transmisi listrik.