Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Sunoto, melayangkan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara tiga terdakwa mantan petinggi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) terkait kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) periode 2019-2022. Pendapat ini menambah kompleksitas pada putusan yang telah dijatuhkan, menyoroti perbedaan interpretasi dalam kasus yang menarik perhatian publik.
Hakim Sunoto secara tegas menyatakan bahwa perkara yang menjerat mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi; eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP, Yusuf Hadi; serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, bukanlah termasuk kategori tindak pidana korupsi. Sebaliknya, ia menilai kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai keputusan bisnis yang kurang optimal dan tanpa didasari oleh unsur niat jahat. Pernyataan krusial ini disampaikan Sunoto saat memimpin sidang putusan di ruang Prof.Dr. Kusumahatmaja, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, pada Kamis (20/11) siang.
Dalam poin-poin keberatannya, Hakim Sunoto secara spesifik menyoroti beberapa persoalan krusial terkait penghitungan kerugian negara dalam kasus ASDP. Salah satu keberatan utamanya adalah penggunaan penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang tidak bersertifikat dalam perhitungan tersebut. Ia menekankan bahwa penghitungan kerugian negara ini merujuk pada kapal-kapal yang menjadi objek aset dalam proses akuisisi. “Terdapat beberapa persoalan yang perlu dicermati, penilaian kapal dilakukan oleh ahli yang dalam keterangannya di persidangan mengaku tidak memiliki sertifikat KJPP, tidak memiliki lisensi formal dan tidak memiliki perijinan dari Kementerian Perhubungan,” ujar Sunoto, menggarisbawahi kelemahan fundamental dalam metodologi penghitungan.
Lebih lanjut, Sunoto meragukan kewenangan Tim Akuntansi Forensik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghitung kerugian negara dalam perkara ASDP. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebagai lembaga resmi yang berwenang, justru secara tegas menolak untuk melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus tersebut. Situasi ini menciptakan ketidakpastian mengenai validitas angka kerugian yang diklaim.
Hakim Sunoto juga membeberkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan atas kepatutan pengelolaan investasi PT ASDP pada tahun 2022, dengan laporannya diterbitkan pada tahun 2023. Dalam laporan tersebut, BPK secara jelas menyimpulkan bahwa investasi PT ASDP telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “BPK tidak menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan tidak merekomendasikan hukum pidana melainkan hanya memberikan rekomendasi perbaikan administratif,” jelas Sunoto, menyoroti perbedaan signifikan antara temuan BPK dan dakwaan jaksa.
Selain itu, Sunoto menguraikan bahwa keterangan dari para saksi dan terdakwa selama persidangan secara konsisten menunjukkan ketiadaan aliran uang atau pemberian fasilitas ilegal dari pemilik PT JN kepada para terdakwa. Ia mencontohkan, “Saudara Adjie (pemilik PT JN) bahkan menyebut bahwa tawarannya untuk memberikan handphone dan batik Madura kepada terdakwa Harry ditolak, begitu pula terdakwa Ira menolak pemberian fasilitas penjemputan dan kamar hotel,” memperkuat argumen bahwa tidak ada gratifikasi atau suap dalam transaksi tersebut.
Meskipun demikian, pendapat Hakim Sunoto ini berbeda dengan pandangan hakim lainnya, termasuk hakim anggota Nur Sari Baktiana. Pada akhirnya, Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4,5 tahun kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi. Putusan ini memang lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang mencapai 8,5 tahun. Bersamaan dengan itu, majelis hakim juga menetapkan vonis pidana penjara empat tahun masing-masing kepada eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi dan Bekas Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.
Ketiganya didakwa merugikan negara dengan nilai fantastis, yakni Rp 1,25 triliun, dalam kasus akuisisi saham PT Jembatan Nusantara pada periode 2019-2022. Jaksa KPK menjelaskan bahwa perkara ini berawal dari skema kerja sama usaha (KSU) antara ASDP dan PT JN pada tahun 2019. Jaksa juga mengemukakan bahwa kapal-kapal yang diakuisisi oleh para terdakwa sudah tua dan tidak layak operasi, bahkan beberapa di antaranya berada dalam kondisi karam. Mereka juga dituding tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli, serta diduga mengondisikan penilaian 53 unit kapal PT JN oleh KJPP Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan (KJPP MBPRU).
Ringkasan
Ketua Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion dalam kasus mantan direksi PT ASDP terkait akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN). Ia berpendapat bahwa kasus ini bukanlah tindak pidana korupsi, melainkan keputusan bisnis yang kurang optimal tanpa niat jahat. Sunoto menyoroti masalah krusial terkait penghitungan kerugian negara, termasuk penggunaan KJPP yang tidak bersertifikat dan penolakan BPKP untuk menghitung kerugian.
Sunoto juga menyebutkan bahwa BPK telah memeriksa kepatutan investasi PT ASDP dan menyimpulkan sesuai peraturan, tanpa menemukan tindak pidana korupsi. Selain itu, tidak ada bukti aliran dana ilegal kepada para terdakwa. Meskipun demikian, majelis hakim tetap menjatuhkan vonis penjara kepada Ira Puspadewi dan dua mantan direktur lainnya atas kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun terkait akuisisi saham PT JN.