Memasuki periode pertama Desember 2025, harga batu bara acuan (HBA) untuk kalori tertinggi kembali menunjukkan tren penurunan signifikan. Komoditas energi ini tercatat anjlok sebesar US$ 3,77 per ton dibandingkan periode kedua November, dari sebelumnya US$ 102,03 per ton kini menjadi US$ 98,26 per ton. Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh peningkatan produksi domestik di negara-negara tujuan ekspor utama batu bara Indonesia.
Tren pelemahan harga ini bukanlah hal baru sepanjang tahun 2025. Sejak awal Januari 2025, HBA berada di level US$ 124,01 per ton. Namun, menjelang awal Desember, angka tersebut menyusut drastis menjadi US$ 98,26 per ton, menandai penurunan kumulatif sebesar US$ 25,75 per ton dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Menyikapi kondisi pasar ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, mengonfirmasi adanya penurunan permintaan batu bara secara global. Menurutnya, banyak negara konsumen besar seperti Tiongkok dan India, serta beberapa negara lainnya, kini aktif meningkatkan produksi domestik mereka. Fenomena ini secara langsung mengurangi ketergantungan pada impor, termasuk dari Indonesia.
Selain faktor peningkatan produksi domestik, Bisman menambahkan bahwa pergeseran global menuju energi terbarukan juga berperan besar. Adopsi sumber energi yang lebih bersih ini secara bertahap mengurangi kebutuhan akan batu bara sebagai bahan bakar utama, memberikan tekanan tambahan pada harga komoditas tersebut di pasar internasional.
Lebih lanjut, Bisman mengidentifikasi perlambatan industri dan kondisi ekonomi di berbagai belahan dunia sebagai faktor makro yang signifikan. Ia memprediksi bahwa hingga akhir tahun, harga batu bara akan cenderung stagnan dan berpotensi kembali turun, mengingat tidak adanya pemicu kuat yang dapat mendorong kenaikan harga dalam waktu dekat. Pernyataan ini disampaikannya kepada Katadata pada Selasa (2/12).
Kondisi harga yang stagnan ini, menurut Bisman, adalah “lampu kuning” atau sinyal peringatan serius bagi para pelaku usaha di sektor pertambangan batu bara. Ia mendesak mereka untuk segera bersiap melakukan diversifikasi, baik mencari alternatif pasar ekspor baru di negara-negara yang memiliki potensi, maupun strategi lainnya.
Ia menekankan pentingnya bagi pengusaha untuk mempercepat hilirisasi batu bara, mengubahnya menjadi bentuk energi atau produk lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan berperan aktif dalam mengatur dan mengendalikan tingkat produksi secara berimbang dan proporsional. Langkah ini krusial untuk mencegah kelebihan pasokan (oversupply) yang dapat semakin menekan harga di pasar global.
Sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 388.K/MB.01/MEM.B/2025, penetapan harga batu bara acuan dibagi menjadi empat golongan berdasarkan nilai kalorinya, dengan rincian sebagai berikut:
- Untuk HBA dengan nilai kalor 6.322 kilokalori (kcal) per kilogram (kg) GAR, terjadi penurunan signifikan sebesar US$ 3,77 per ton. Harganya berubah dari US$ 102,03 per ton pada periode kedua November 2025 menjadi US$ 98,26 per ton.
- Sementara itu, HBA I dengan nilai kalor 5.300 kcal per kg GAR justru mengalami kenaikan, dari US$ 67,29 per ton menjadi US$ 67,99 per ton.
- Demikian pula, HBA II dengan nilai kalor 4.100 kcal per kg GAR mencatat kenaikan tipis, dari US$ 44,29 per ton menjadi US$ 44,37 per ton.
- HBA III, yang memiliki nilai kalor 3.400 kcal per kg GAR, juga menunjukkan kenaikan dari US$ 33,88 per ton menjadi US$ 34,15 per ton.
Perlu dicatat bahwa batu bara dengan nilai kalori tertinggi, yakni 6.322 kcal/kg GAR, ditetapkan sebagai patokan harga jual untuk berbagai keperluan strategis. Ini meliputi penyediaan listrik dan bahan bakar bagi industri, terkecuali untuk sektor industri pengolahan dan pemurnian mineral logam.
Harga Mineral Acuan
Selain batu bara, Menteri ESDM juga telah menetapkan Harga Mineral Acuan (HMA) untuk berbagai komoditas mineral lain sebagai patokan pada periode pertama Desember 2025. Untuk nikel, HMA ditetapkan sebesar US$ 14.666,67 per metrik ton kering (dmt). Sementara itu, kobalt dipatok US$ 48.139 per dmt, dan timbal sebesar US$ 2.013,93 per dmt.
Berikut adalah daftar lengkap HMA untuk komoditas lainnya:
- Seng: US$ 3.178,47 per dmt
- Aluminium: US$ 2.816,67 per dmt
- Tembaga: US$ 10.775,10 per dmt
- Emas sebagai mineral ikutan: US$ 4.079,87 per troy ounce
- Perak sebagai mineral ikutan: US$ 50,55 per troy ounce
- Ingot timah Pb 300: berdasarkan settlement price ICDX dan JFX pada hari penjualan
- Ingot timah Pb 200: berdasarkan settlement price ICDX dan JFX pada hari penjualan
- Ingot timah Pb 100: berdasarkan settlement price ICDX dan JFX pada hari penjualan
- Ingot timah Pb 050: berdasarkan settlement price ICDX dan JFX pada hari penjualan
- Ingot timah 4NINE: berdasarkan settlement price ICDX dan JFX pada hari penjualan
- Logam emas: berdasarkan LBMA Gold PM Fix pada hari penjualan
- Logam perak: berdasarkan LBMA Silver Fix pada hari penjualan
- Mangan: US$ 3,38 per dmt
- Bijih besi laterit/hematit/magnetit: US$ 1,52 per dmt
- Bijih krom: US$ 6,37 per dmt
- Konsentrat titanium: US$ 8,67 per dmt
Ringkasan
Harga batu bara acuan (HBA) mengalami penurunan signifikan memasuki Desember 2025, menyusut US$ 3,77 per ton menjadi US$ 98,26 per ton. Penurunan ini dipicu oleh peningkatan produksi domestik di negara-negara tujuan ekspor utama, serta pergeseran global ke energi terbarukan yang mengurangi permintaan batu bara. Tren pelemahan harga ini telah berlangsung sepanjang tahun 2025, dengan penurunan kumulatif sebesar US$ 25,75 per ton.
Menanggapi kondisi ini, pelaku usaha di sektor pertambangan batu bara diimbau untuk melakukan diversifikasi, termasuk mencari pasar ekspor baru dan mempercepat hilirisasi batu bara. Pemerintah juga diharapkan berperan aktif dalam mengatur produksi untuk mencegah oversupply. Selain batu bara, Harga Mineral Acuan (HMA) juga ditetapkan untuk berbagai komoditas lain seperti nikel, kobalt, dan timbal.