Sponsored

IESR: Pemanfaatan Energi Terbarukan Indonesia Mandek Karena 4 Faktor Ini

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa besar, namun pemanfaatannya masih jauh tertinggal. Indonesia gagal mencapai target bauran energi terbarukan selama sembilan tahun berturut-turut.

Sponsored

Dalam paparannya, Fabby menyebutkan potensi energi terbarukan nasional mencapai 3.700 gigawatt, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Potensi tenaga surya Indonesia bahkan cukup untuk memasok listrik di seluruh Asia Tenggara hingga sepuluh kali lipat dari tingkat konsumsi energi saat ini. Selain itu, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, namun pemanfaatannya tetap minim.

Meski demikian, Fabby mengatakan, penggunaan energi fosil masih mendominasi. “Batu bara masih menyumbang 65% dari listrik kita, kira-kira 40% dari bauran energi primer,” kata Fabby dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO), Kamis (20/11).

Indonesia juga dinilai gagal mencapai target bauran energi terbarukan selama sembilan tahun berturut-turut. Target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 yang ditetapkan pada 2014, hingga kini baru tercapai sekitar 16 hingga 17%, itupun sebagian besar berasal dari bahan bakar nabati.

“Kalau kita melihat sistem kelistrikan saja, energi terbarukan bahkan tidak mencapai 17%. Lebih rendah dari itu. Inilah kontradiksi yang terjadi,” ujarnya.

Transisi Energi Terhambat

IESR dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) menyimpulkan bahwa transisi energi Indonesia sejak 2021 justru mandek.

Meski komitmen terhadap energi terbarukan menguat dalam satu dekade terakhir, dominasi energi fosil semakin mengakar dan menciptakan ketergantungan yang makin dalam.

“Walaupun demikian kami coba melihat apa yang menjadi penyebab transisi energi mengalami kemandekan. Ini bukan karena mustahil atau terlalu susah. Tetapi kita memang menghadapi kendala, kita menghadapi tantangan yang sebenarnya bisa diperbaiki jika kita ingin melakukan,” ucap Fabby.

Kebijakan Tidak Konsisten

Fabby menyoroti bahwa salah satu penyebab utama stagnasi transisi energi adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Indonesia kerap menetapkan target ambisius, namun ketika realisasi berjalan lambat, target justru diturunkan alih-alih memperbaiki strategi pencapaiannya.

Ia mencontohkan kebijakan feed-in tariff yang sebelumnya tercantum jelas dalam Perpres Rencana Umum Energi Nasional, namun kemudian dicabut karena dianggap merugikan.

Selain itu, terdapat disharmoni antarkementerian: sebagian mendorong transisi energi, sementara yang lain tetap mendukung ekspansi fosil.

“Ada kebijakan yang bertentangan. Misalnya, penggunaan batu bara untuk DME (dimethyl ether) yang tidak ekonomis tetapi tetap dipaksakan,” kata Fabby.

Terjebak Ketergantungan Batu Bara

Ketergantungan pada batu bara juga menjadi hambatan serius. Pembangunan PLTU yang masif selama bertahun-tahun membuat Indonesia terjebak dalam struktur energi berbasis fosil.

“Seiring dengan berjalanan waktu ternyata harga batu bara melonjak. Dan sejak saat itu pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi kepada batu bara yang kemudian mengubah keekonomian energi listrik,” terangnya.

Kini, hampir 70% infrastruktur kelistrikan Indonesia terlanjur berbasis batu bara sehingga penghentian subsidi akan memicu kenaikan tarif listrik dan potensi gejolak sosial. Akibatnya, ruang untuk mendorong energi terbarukan menjadi semakin sempit.

Infrastruktur Listrik dan Pendanaan Minim

Faktor selanjutnya adalah infrastruktur jaringan listrik Indonesia juga belum siap mengakomodasi ekspansi besar-besaran energi terbarukan, terutama dari sumber surya yang bersifat variabel.

Fabby mencontohkan, PLN menyebut jaringan yang ada belum mampu menampung pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap skala besar. Padahal, teknologi ini menjadi salah satu pilihan energi murah dan cepat diterapkan.

“Potensi PLTS atap sangat besar tetapi PLN berdalih jaringannya tidak siap. Kalau misalnya PLTS Atap itu dikembangkan besar-besaran padahal ini adalah sumber energi yang murah yang kemudian bisa membuat transisi energi lebih cepat,” katanya.

Ketidakselarasan Pendanaan

Terakhir, ketidakselarasan pendanaan juga menjadi faktor penghambat. Menurutnya selama ini energi terbarukan dianggap mahal karena biaya pendanaannya tinggi, sementara akses pembiayaan bersubsidi dan berisiko rendah belum merata.

Fabby menyambut positif komitmen Presiden Prabowo Subianto yang berulang kali menyatakan rencana untuk keluar dari ketergantungan energi fosil dalam 15 tahun ke depan. Presiden juga menetapkan target pembangunan 100 gigawatt PLTS.

Namun, menurutnya, Indonesia masih berhadapan dengan kesenjangan besar antara komitmen dan eksekusi. “Janji-janji ini signifikan, tetapi kita selalu melihat ada jarak antara niat dan kemampuan merealisasikan,” ujar Fabby.

Sponsored