Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Indonesia saat ini tengah menilik lebih dalam kebijakan pemerintah Cina yang mewajibkan para pemengaruh atau influencer untuk memiliki sertifikasi khusus, terutama jika ingin membuat konten yang menyentuh topik sensitif. Wacana ini membuka diskusi penting mengenai kredibilitas konten dan tanggung jawab kreator di ekosistem digital.
Di Cina, kebijakan sertifikasi influencer ini digagas oleh Administrasi Siber Cina (CAC) pada bulan Agustus lalu. Aturan tersebut secara spesifik mensyaratkan influencer untuk memiliki sertifikat pelatihan atau latar belakang pendidikan formal apabila hendak membahas isu-isu krusial seperti kedokteran, hukum, pendidikan, dan keuangan di berbagai platform media sosial. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik serta membendung arus informasi menyesatkan. Kreator konten diberi waktu dua bulan, mulai Oktober, untuk menyerahkan bukti sertifikasi yang telah terverifikasi. Selain itu, setiap konten yang membahas topik sensitif wajib mencantumkan sumber informasi yang jelas, terlebih jika melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI). Platform media sosial besar seperti Douyin, Bilibili, dan Weibo pun diwajibkan untuk memverifikasi kredensial para kreator, menegaskan bahwa influencer memikul tanggung jawab hukum dan ilmiah atas setiap informasi yang mereka bagikan kepada khalayak.
Sementara itu, di Indonesia, para kreator telah menunjukkan bagaimana kredibilitas konten dapat dibangun dan dijaga, bahkan tanpa sertifikasi formal di bidang keilmuan tertentu. Lianna Nathania, yang dikenal lewat konten trik berhitung cepat di TikTok dengan akun @liannanathania, misalnya, berbagi kiatnya. Meski latar belakang pendidikannya bukan di bidang matematika, ia senantiasa mengukuhkan kepercayaan audiens. “Aku tetap menjaga kepercayaan audiens dengan cara menguji setiap trik yang aku bagikan,” kata Lianna. Kreator dengan 3,7 juta pengikut ini memastikan semua trik yang ia sampaikan telah ia coba sendiri dan memberikan catatan khusus jika trik tersebut hanya berlaku untuk kasus tertentu. “Jadi ini bentuk tanggung jawab aku sebagai kreator edukasi,” tambahnya.
Senada dengan Lianna, kreator parenting dan kesehatan mental Halimah, pemilik akun @dailyjour dengan 1,3 juta pengikut di TikTok, juga menekankan peran platform digital dalam meningkatkan kualitas dan kredibilitas konten edukatif. Halimah, yang bukan seorang psikolog, mencontohkan program pelatihan Mindflow Makers dari TikTok yang melatih kreator untuk menghasilkan konten kesehatan mental yang berbasis data dan bersumber dari ahli. “Meskipun bukan profesional, kami tetap bisa membuat konten yang kredibel,” ujarnya, menggarisbawahi pentingnya mengacu pada sumber yang tepat dan menjaga integritas.
Kreator astronomi Bima Nasution (@bims_stagram) pun memiliki pandangan yang sama mengenai peran platform digital dalam menjamin kredibilitas kreator dan konten. Meski kerap mengenalkan fenomena langit dan cuaca, Bima bukanlah lulusan astronomi. Ia belajar untuk menyampaikan data faktual yang bisa dipertanggungjawabkan melalui pelatihan, seperti program Trusted Creator Lab. “Saya bukan lulusan astronomi, tetapi saya mendalami karena hobi. Di program itu kami diajarkan untuk menyampaikan data yang faktual dan bisa dipertanggungjawabkan,” jelas Bima.
Menanggapi aturan influencer di Cina yang sedang dikaji, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengonfirmasi bahwa instansinya masih melakukan diskusi dan analisis internal. “Informasi ini masih baru. Kami kaji dulu,” ujar Bonifasius di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat, dikutip dari Antara. Ia menjelaskan, Komdigi secara rutin memantau kebijakan negara lain dalam menjaga ekosistem digital, mencontohkan langkah Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur, yang kemudian menginspirasi penerbitan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Meski demikian, Bonifasius menegaskan bahwa wacana sertifikasi influencer masih sebatas kajian dan belum tentu akan diterapkan di Indonesia. Komdigi berupaya menemukan keseimbangan yang tepat: “Kami perlu menjaga, tetapi jangan sampai terlalu mengekang.” Kompetensi memang diperlukan untuk menghindari penyebaran informasi yang salah, namun ruang bagi kreativitas juga harus tetap terbuka. Ia menekankan pentingnya membuka ruang dialog dan mendengar masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan. “Kalau perlu diterapkan, oke, tapi bagaimana? Seperti apa? Kan pasti ada level atau grade, dan harus jelas siapa yang diatur. Sekarang yang jadi konten kreator banyak sekali,” pungkas Bonifasius, menyoroti kompleksitas dalam merumuskan kebijakan yang relevan dan adil.
Ringkasan
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mengkaji kebijakan sertifikasi influencer seperti yang diterapkan di Cina, terutama untuk konten yang membahas topik sensitif. Kebijakan di Cina mengharuskan influencer memiliki sertifikasi atau latar belakang pendidikan formal untuk membahas isu-isu krusial seperti kedokteran, hukum, dan keuangan. Tujuannya adalah meningkatkan kepercayaan publik dan membendung informasi menyesatkan, dengan platform media sosial bertanggung jawab memverifikasi kredensial kreator.
Di Indonesia, meskipun wacana sertifikasi masih dalam kajian, beberapa kreator telah menunjukkan cara membangun kredibilitas konten tanpa sertifikasi formal. Mereka menekankan pentingnya pengujian konten, sumber informasi yang jelas, dan integritas. Program pelatihan dari platform digital juga berperan dalam meningkatkan kualitas dan kredibilitas konten edukatif, dengan menekankan pada data faktual dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.